AGUS PAMBAGIO (Pemerhati Kebijakan Publik dan Perlindungan Konsumen)
Wan Qingliang adalah Mayor atau Walikota Quangzhou, China saat ini. Ia berhasil membuat sistem angkutan umum modern, Bus Rapid Transit (BRT) bekerja sangat baik bersama-sama dengan Mass Rapid Transit (MRT) dalam mengurangi kemacetan dan membantu pergerakan manusia di kota Guangzhou.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 11 juta jiwa, seharusnya Guangzhou tidak berbeda jauh dengan Jakarta. Namun ternyata fasilitas transportasi
publik kota Jakarta masih tertinggal jauh. Dengan luas wilayah sekitar 7.435 km2 (dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta daratan yang 661,52
km2), seharusnya Guangzhou masih lega.
Namun saat penulis di Guangzhou minggu lalu, sesak juga. Kepadatan dan bau manusia ada di mana-mana. Kondisi sedikit lebih segar dari Jakarta karena Guangzhou lebih sejuk dan sebagian besar kendaraan menggunakan LPG atau CNG yang dibeli murah dengan kontrak jangka panjang (30 tahun) dari Indonesia sebagai bahan bakar utamanya. Memang apa istimewanya Engkoh Wan dibandingkan dengan pemimpin wilayah di Indonesia, khususnya Jakarta?
Bedanya Engkoh Wan dan pendahulunya berani bertindak dan memutuskan demi kenyamanan warga sebuah kota padat penduduk seperti Guangzhou melalui beberapa kebijakan transportasi yang progresif dan berpihak pada publik. Engkoh Wan dan pendahulunya berani melarang sepeda motor masuk kota Guangzhou dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi setelah memutuskan pembangunan BRT yang terintegrasi sejak 2005.
Pemerintah kota Guangzhou juga berani memutuskan pembangunan ruang terbuka hijau di tengah pemukiman kumuh menjadi sebuah taman kota yang indah dan nyaman untuk warganya. Mereka tidak terlampau banyak rapat, berpolemik, dan curhat terus menerus tanpa hasil. Just do it.
Andaikan Engkoh Wan jadi Gubernur DKI Jakarta, saya berandai-andai angkutan umum, seperti BRT (Trans Jakarta), MRT, waterways, kereta api komuter, monorel, RTH (ruang terbuka hijau) akan tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan penduduk kota itu sendiri. Bukan berpolemik terus tak kunjung selesai, tahu-tahu sudah mau pilkada lagi.
Apa yang Dilakukan Penguasa Guangzhou dengan Kotanya ?
Pertama, mengembangkan transportasi umum. Subway yang sudah ada terus diperluas jangkauannya, melarang kendaraan roda dua masuk ke wilayah kota Guangzhou (2007), membangun pedestrian sejalan dengan pembangunan 1 koridor fasilitas BRT (2009). Berbagai kebijakan seperti melarang motor masuk kota, pembatasan penggunaan mobil pribadi, menaikkan tarif parkir dan sebagainya baru dilaksanakan oleh Walikota setelah layanan angkutan publik memadai, bukan sebaliknya.
Sejak diluncurkan pada 20 Februari 2010, BRT Guangzhou telah mengangkut sekitar 1 juta orang per hari dengan jumlah bus sebanyak 980 bus normal maupun gandeng. Bandingkan dengan BRT di Jakarta yang diresmikan pada 15 Januari 2004. Meskipun sudah ada 10 koridor dengan jumlah bus sebanyak 524 dan hanya mampu mengangkut 350.000 orang per hari.
Dari segi tarif, BRT di Guangzhou hanya RMB 2 atau kurang lebih Rp 2.800 per penumpang sedangkan Trans Jakarta Rp 3.500 per penumpang. Sistem BRT Guanzhou berbeda dengan sistem BRT Jakarta yang mencontoh BRT Bogota. BRT Guangzhou tidak menggunakan feeder atau pengumpan tetapi bis regular menggunakan lajur yang sama dengan BRT di beberapa lokasi.
Selagi di koridor BRT, penumpang tidak bayar lagi jika berpindah menggunakan bis regular. Begitu keluar koridor baru bayar RMB 2 per penumpang. Untuk mengurangi kepadatan lalu lintas, di beberapa halte BRT disedikan juga sepeda yang bisa disewa oleh publik secara jam-jaman. Setiap jam jalur BRT dilayani oleh sekitar 350 bis. Di beberapa jalur BRT dan bis umum bercampur dengan jalur kendaraan pribadi, namun tidak ada kendaraan pribadi yang menyerobot jalur BRT meski tanpa separator.
Kuncinya adalah jarak antara BRT (headway) harus sangat dekat, berjarak kurang dari 1 menit. Tidak seperti di Jakarta yang terpaut jauh atau mengumpul. Di koridor BRT tidak ada putaran macam di Bunderan HI. Semua bundaran dibongkar. Dengan halte bus yang terbuka dan panjang serta petunjuk dan akses yang jelas, publik dimudahkan untuk melakukan pergerakan. Tidak seperti di kota kita tercinta, Jakarta.
Apa kuncinya dan apa yang harus dilakukan Pemerintah Daerah DKI Jakarta ?
Kuncinya kepemimpinan yang kuat. Ahli transportasi banyak di Jakarta. Sehingga yang diperlukan adalah ketegasan. Kedua, Pemerintah kota Guangzhou mengubah daerah kumuh tempat pembuangan limbah cair rumah tangga menjadi sebuah taman dan wisata air yang bersih serta sehat bagi warganya, seperti di daerah Donghao Chong lengkap dengan bangunan museum yang menceriterakan asal usul daerah tersebut.
Apakah Jakarta bisa seperti itu? Tentu bisa kalau mau. Langkah Pemimpin Harus Jelas dalam melakukan pembenahan transportasi publik di Jakarta, meskipun tengah dibantu oleh International Transport and Development Policy dengan menggunakan dana dari Global Environment Fund (GEF) sejak tahun 2006, program tidak berjalan dengan baik sehingga diputuskan oleh ITDP untuk tidak diperpanjang bantuannya setelah Desember 2011 ini.
Patut diduga kegagalan ini terkait dengan tidak jelasnya kebijakan Pemda DKI Jakarta di sektor transportasi umum. Begitu pula dukungan Pemerintah Indonesia terhadap sektor transportasi umum di Jakarta, meskipun sudah masuk ke 17 langkah yang ditetapkan oleh Wapres. Terbukti pada saat rapat di kantor Wapres minggu lalu, Menteri Keuangan masih juga menanyakan apa memang MRT perlu untuk Jakarta. Ampuuuuuun kenapa ya bangsa ini. No keputusan, meeting only.
Persoalan elektronik tiket, online sstem ticketing dan sterilisasi jalur Trans Jakarta, pengadaan bus, supply gas, pembenahan koridor, manajemen armada bus, pembentukan perseroan terbatas pengelola Trans Jakarta, penunjukan Direktur Utama Perseroan yang mampu dan lain-lain masih merupakan pekerjaan rumah Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang harus segera dibenahi jika Jakarta mau menjadi kota yang nyaman bagi warganya.
Berbagai peraturan untuk menunjang transportasi umum sudah cukup lengkap, sekali lagi yang tidak ada hanya niat dan ketegasan pimpinan Pemerintahan Daerah DKI Jakarta. No leadership ! Hampir tidak ada keputusan yang tegas dan dilaksanakan oleh unit operasi demi kenyamanan publik. Semua ad hoc demi menyenangkan komandan dan tidak terintegrasi serta patut diduga koruptif.
Zaman Orde Baru korupsi oleh kroni kekuasaan terjadi tetapi fasilitas publik yang dibangun ada dan bisa dinikmati oleh publik. Zaman reformasi korupsi merata tetapi ujud fasilitas publiknya tidak muncul. Saran saya, kita kontrak saja Gubernur asing, seperti Wan Qingliang layaknya zaman Belanda dulu. Gajinya pasti sama besar dengan biaya Pilkada yang puluhan miliar. Namun kepentingan publik Jakarta terpenuhi ….. Mau ???
Wan Qingliang adalah Mayor atau Walikota Quangzhou, China saat ini. Ia berhasil membuat sistem angkutan umum modern, Bus Rapid Transit (BRT) bekerja sangat baik bersama-sama dengan Mass Rapid Transit (MRT) dalam mengurangi kemacetan dan membantu pergerakan manusia di kota Guangzhou.
Dengan jumlah penduduk lebih dari 11 juta jiwa, seharusnya Guangzhou tidak berbeda jauh dengan Jakarta. Namun ternyata fasilitas transportasi
publik kota Jakarta masih tertinggal jauh. Dengan luas wilayah sekitar 7.435 km2 (dibandingkan dengan wilayah DKI Jakarta daratan yang 661,52
km2), seharusnya Guangzhou masih lega.
Namun saat penulis di Guangzhou minggu lalu, sesak juga. Kepadatan dan bau manusia ada di mana-mana. Kondisi sedikit lebih segar dari Jakarta karena Guangzhou lebih sejuk dan sebagian besar kendaraan menggunakan LPG atau CNG yang dibeli murah dengan kontrak jangka panjang (30 tahun) dari Indonesia sebagai bahan bakar utamanya. Memang apa istimewanya Engkoh Wan dibandingkan dengan pemimpin wilayah di Indonesia, khususnya Jakarta?
Bedanya Engkoh Wan dan pendahulunya berani bertindak dan memutuskan demi kenyamanan warga sebuah kota padat penduduk seperti Guangzhou melalui beberapa kebijakan transportasi yang progresif dan berpihak pada publik. Engkoh Wan dan pendahulunya berani melarang sepeda motor masuk kota Guangzhou dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi setelah memutuskan pembangunan BRT yang terintegrasi sejak 2005.
Pemerintah kota Guangzhou juga berani memutuskan pembangunan ruang terbuka hijau di tengah pemukiman kumuh menjadi sebuah taman kota yang indah dan nyaman untuk warganya. Mereka tidak terlampau banyak rapat, berpolemik, dan curhat terus menerus tanpa hasil. Just do it.
Andaikan Engkoh Wan jadi Gubernur DKI Jakarta, saya berandai-andai angkutan umum, seperti BRT (Trans Jakarta), MRT, waterways, kereta api komuter, monorel, RTH (ruang terbuka hijau) akan tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan penduduk kota itu sendiri. Bukan berpolemik terus tak kunjung selesai, tahu-tahu sudah mau pilkada lagi.
Apa yang Dilakukan Penguasa Guangzhou dengan Kotanya ?
Pertama, mengembangkan transportasi umum. Subway yang sudah ada terus diperluas jangkauannya, melarang kendaraan roda dua masuk ke wilayah kota Guangzhou (2007), membangun pedestrian sejalan dengan pembangunan 1 koridor fasilitas BRT (2009). Berbagai kebijakan seperti melarang motor masuk kota, pembatasan penggunaan mobil pribadi, menaikkan tarif parkir dan sebagainya baru dilaksanakan oleh Walikota setelah layanan angkutan publik memadai, bukan sebaliknya.
Sejak diluncurkan pada 20 Februari 2010, BRT Guangzhou telah mengangkut sekitar 1 juta orang per hari dengan jumlah bus sebanyak 980 bus normal maupun gandeng. Bandingkan dengan BRT di Jakarta yang diresmikan pada 15 Januari 2004. Meskipun sudah ada 10 koridor dengan jumlah bus sebanyak 524 dan hanya mampu mengangkut 350.000 orang per hari.
Dari segi tarif, BRT di Guangzhou hanya RMB 2 atau kurang lebih Rp 2.800 per penumpang sedangkan Trans Jakarta Rp 3.500 per penumpang. Sistem BRT Guanzhou berbeda dengan sistem BRT Jakarta yang mencontoh BRT Bogota. BRT Guangzhou tidak menggunakan feeder atau pengumpan tetapi bis regular menggunakan lajur yang sama dengan BRT di beberapa lokasi.
Selagi di koridor BRT, penumpang tidak bayar lagi jika berpindah menggunakan bis regular. Begitu keluar koridor baru bayar RMB 2 per penumpang. Untuk mengurangi kepadatan lalu lintas, di beberapa halte BRT disedikan juga sepeda yang bisa disewa oleh publik secara jam-jaman. Setiap jam jalur BRT dilayani oleh sekitar 350 bis. Di beberapa jalur BRT dan bis umum bercampur dengan jalur kendaraan pribadi, namun tidak ada kendaraan pribadi yang menyerobot jalur BRT meski tanpa separator.
Kuncinya adalah jarak antara BRT (headway) harus sangat dekat, berjarak kurang dari 1 menit. Tidak seperti di Jakarta yang terpaut jauh atau mengumpul. Di koridor BRT tidak ada putaran macam di Bunderan HI. Semua bundaran dibongkar. Dengan halte bus yang terbuka dan panjang serta petunjuk dan akses yang jelas, publik dimudahkan untuk melakukan pergerakan. Tidak seperti di kota kita tercinta, Jakarta.
Apa kuncinya dan apa yang harus dilakukan Pemerintah Daerah DKI Jakarta ?
Kuncinya kepemimpinan yang kuat. Ahli transportasi banyak di Jakarta. Sehingga yang diperlukan adalah ketegasan. Kedua, Pemerintah kota Guangzhou mengubah daerah kumuh tempat pembuangan limbah cair rumah tangga menjadi sebuah taman dan wisata air yang bersih serta sehat bagi warganya, seperti di daerah Donghao Chong lengkap dengan bangunan museum yang menceriterakan asal usul daerah tersebut.
Apakah Jakarta bisa seperti itu? Tentu bisa kalau mau. Langkah Pemimpin Harus Jelas dalam melakukan pembenahan transportasi publik di Jakarta, meskipun tengah dibantu oleh International Transport and Development Policy dengan menggunakan dana dari Global Environment Fund (GEF) sejak tahun 2006, program tidak berjalan dengan baik sehingga diputuskan oleh ITDP untuk tidak diperpanjang bantuannya setelah Desember 2011 ini.
Patut diduga kegagalan ini terkait dengan tidak jelasnya kebijakan Pemda DKI Jakarta di sektor transportasi umum. Begitu pula dukungan Pemerintah Indonesia terhadap sektor transportasi umum di Jakarta, meskipun sudah masuk ke 17 langkah yang ditetapkan oleh Wapres. Terbukti pada saat rapat di kantor Wapres minggu lalu, Menteri Keuangan masih juga menanyakan apa memang MRT perlu untuk Jakarta. Ampuuuuuun kenapa ya bangsa ini. No keputusan, meeting only.
Persoalan elektronik tiket, online sstem ticketing dan sterilisasi jalur Trans Jakarta, pengadaan bus, supply gas, pembenahan koridor, manajemen armada bus, pembentukan perseroan terbatas pengelola Trans Jakarta, penunjukan Direktur Utama Perseroan yang mampu dan lain-lain masih merupakan pekerjaan rumah Pemerintah Daerah DKI Jakarta yang harus segera dibenahi jika Jakarta mau menjadi kota yang nyaman bagi warganya.
Berbagai peraturan untuk menunjang transportasi umum sudah cukup lengkap, sekali lagi yang tidak ada hanya niat dan ketegasan pimpinan Pemerintahan Daerah DKI Jakarta. No leadership ! Hampir tidak ada keputusan yang tegas dan dilaksanakan oleh unit operasi demi kenyamanan publik. Semua ad hoc demi menyenangkan komandan dan tidak terintegrasi serta patut diduga koruptif.
Zaman Orde Baru korupsi oleh kroni kekuasaan terjadi tetapi fasilitas publik yang dibangun ada dan bisa dinikmati oleh publik. Zaman reformasi korupsi merata tetapi ujud fasilitas publiknya tidak muncul. Saran saya, kita kontrak saja Gubernur asing, seperti Wan Qingliang layaknya zaman Belanda dulu. Gajinya pasti sama besar dengan biaya Pilkada yang puluhan miliar. Namun kepentingan publik Jakarta terpenuhi ….. Mau ???
0 komentar:
Post a Comment