Oleh Gede Prama
Di zaman kanak-kanak dulu, ketika murid siap sedia untuk pulang dari sekolah diminta menyanyikan lagu Gelang Sipatu Gelang. Gembira, bahagia, suka cita, itulah perasaan yang muncul ketika mau pulang. Tidak terlalu penting nanti di rumah makan apa, main apa, kalau mau pulang seperti siap-siap memasuki rumah suka cita.
Sekian tahun setelah masa kanak-kanak berlalu, menghabiskan belasan tahun waktu di sekolah, puluhan tahun bekerja, hidup mulai kelelahan, banyak yang bertanya ke mana larinya energi suka cita untuk pulang sebagaimana dulu? Setiap sore semua pulang ke rumah, namun minus kegembiraan ala anak-anak dulu. Setiap akhir pekan kebanyakan orang istirahat di rumah, tetapi nyaris tanpa suka cita.
Membandingkan hidup kini yang rumit karena keinginan, dengan hidup dulu yang sederhana namun penuh suka cita memang tidak adil. Dulu adalah dulu, kini adalah kini. Semuanya memiliki panggilan belajarnya masing-masing. Namun tentu manusiawi kalau banyak yang bertanya, bila badan punya tempat istirahat bernama rumah, lantas dimanakah tempat istirahatnya kehidupan?
Sebuah pertanyaan yang ditanyakan banyak orang. Terutama mereka yang mulai merasakan kelelahan di sana sini. Ada yang mencoba mengistirahatkan hidupnya dalam doa, ada yang istirahat dalam pelayanan, ada yang menemukan tempat menyalurkan kelelahan dengan kasih sayang. Dan tentu masih ada lagi yang lain.
Doa memang salah satu tempat istirahat yang mengagumkan. Ada berbagai macam jenis orang dalam berdoa. Dari yang memohon istrinya agar tidak cerewet, suaminya naik pangkat, sampai dengan mobil biar lebih bagus dari tetangga. Namun Jalalludin Rumi punya rangkaian doa bagus sekali. Di salah satu pojokan hidupnya, mistikus sufi ini menulis: ”Bertahun-tahun kuketuk pintu itu. Lama tidak dibuka. Tatkala terbuka, ternyata saya mengetuknya dari dalam”.
Tidak banyak manusia yang bisa sampai ke tataran doa semengagumkan Rumi. Kebanyakan manusia menempatkan dirinya di luar, dengan meminta ini dan memohon itu. Dan doa seperti ini tidak saja tidak membawa masuk ke dalam, malah kedinginan di luar. Buktinya, ketika keinginan dipenuhi, suka cita hanya datang sebentar. Setelah itu datang lagi keinginan yang lain. Demikianlah kisah kehidupan yang senantiasa kedinginan di luar. Di tangan seorang pencari yang mengagumkan seperti Rumi, doa bukanlah kata-kata penuh permintaan, melainkan sebuah kesadaran bahwa yang mencari dan yang dicari tidak pernah berpisah. Inilah jenis manusia yang sudah pulang dengan jalan doa.
Santo Fransiscus dari Asisi adalah salah satu manusia yang pulang di jalan pelayanan. Perhatikan salah satu petikan puisinya: ”Cintaku, izinkan saya menjadi budak damaimu. Di mana ada kegelapan biar saya datang membawa lilin penerang. Di mana ada bara api kemarahan, biar saya memercikkan air suci cinta kasih”. Ini mirip dengan Mahatma Gandhi yang menyebutkan, hidup yang diisi pelayanan adalah hidup yang paling menggetarkan.
HH Dalai Lama lain lagi, ia melenggang pulang di jalan kasih sayang. Sementara sebagian orang belajar meditasi untuk membebaskan dirinya segera dari putaran kehidupan yang penuh sengsara di bumi, pemenang hadiah nobel perdamaian tahun 1989 ini kerap menangis di depan umum ketika melafalkan janji ini: ”Semasih ada ruang, semasih ada mahluk, izinkan saya terus menerus lahir ke sini, agar ada yang membimbing para mahluk keluar dari penderitaan”.
Itu sebabnya, pesan yang sering beliau sampaikan berulang-ulang tanpa mengenal bosan berbunyi begini: ”If I have to choose between religion and compassion, I will choose compassion”. Bila harus memilih antara agama dan kasih sayang, pilihlah kasih sayang.
Dan Anda pun dipersilahkan memilih pulang di jalan yang disukai. Namun berkaitan dengan jalan doa, pelayanan dan kasih sayang, ia serupa iklan Coca Cola: di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja. Artinya, di setiap kesempatan (saat kerja atau di rumah) ada berlimpah kesempatan untuk melenggang pulang. Syaratnya sederhana, yang paling baik adalah menyediakan tangan bantuan.
Bila tidak bisa membantu, cukup jangan menyakiti.
Di zaman kanak-kanak dulu, ketika murid siap sedia untuk pulang dari sekolah diminta menyanyikan lagu Gelang Sipatu Gelang. Gembira, bahagia, suka cita, itulah perasaan yang muncul ketika mau pulang. Tidak terlalu penting nanti di rumah makan apa, main apa, kalau mau pulang seperti siap-siap memasuki rumah suka cita.
Sekian tahun setelah masa kanak-kanak berlalu, menghabiskan belasan tahun waktu di sekolah, puluhan tahun bekerja, hidup mulai kelelahan, banyak yang bertanya ke mana larinya energi suka cita untuk pulang sebagaimana dulu? Setiap sore semua pulang ke rumah, namun minus kegembiraan ala anak-anak dulu. Setiap akhir pekan kebanyakan orang istirahat di rumah, tetapi nyaris tanpa suka cita.
Membandingkan hidup kini yang rumit karena keinginan, dengan hidup dulu yang sederhana namun penuh suka cita memang tidak adil. Dulu adalah dulu, kini adalah kini. Semuanya memiliki panggilan belajarnya masing-masing. Namun tentu manusiawi kalau banyak yang bertanya, bila badan punya tempat istirahat bernama rumah, lantas dimanakah tempat istirahatnya kehidupan?
Sebuah pertanyaan yang ditanyakan banyak orang. Terutama mereka yang mulai merasakan kelelahan di sana sini. Ada yang mencoba mengistirahatkan hidupnya dalam doa, ada yang istirahat dalam pelayanan, ada yang menemukan tempat menyalurkan kelelahan dengan kasih sayang. Dan tentu masih ada lagi yang lain.
Doa memang salah satu tempat istirahat yang mengagumkan. Ada berbagai macam jenis orang dalam berdoa. Dari yang memohon istrinya agar tidak cerewet, suaminya naik pangkat, sampai dengan mobil biar lebih bagus dari tetangga. Namun Jalalludin Rumi punya rangkaian doa bagus sekali. Di salah satu pojokan hidupnya, mistikus sufi ini menulis: ”Bertahun-tahun kuketuk pintu itu. Lama tidak dibuka. Tatkala terbuka, ternyata saya mengetuknya dari dalam”.
Tidak banyak manusia yang bisa sampai ke tataran doa semengagumkan Rumi. Kebanyakan manusia menempatkan dirinya di luar, dengan meminta ini dan memohon itu. Dan doa seperti ini tidak saja tidak membawa masuk ke dalam, malah kedinginan di luar. Buktinya, ketika keinginan dipenuhi, suka cita hanya datang sebentar. Setelah itu datang lagi keinginan yang lain. Demikianlah kisah kehidupan yang senantiasa kedinginan di luar. Di tangan seorang pencari yang mengagumkan seperti Rumi, doa bukanlah kata-kata penuh permintaan, melainkan sebuah kesadaran bahwa yang mencari dan yang dicari tidak pernah berpisah. Inilah jenis manusia yang sudah pulang dengan jalan doa.
Santo Fransiscus dari Asisi adalah salah satu manusia yang pulang di jalan pelayanan. Perhatikan salah satu petikan puisinya: ”Cintaku, izinkan saya menjadi budak damaimu. Di mana ada kegelapan biar saya datang membawa lilin penerang. Di mana ada bara api kemarahan, biar saya memercikkan air suci cinta kasih”. Ini mirip dengan Mahatma Gandhi yang menyebutkan, hidup yang diisi pelayanan adalah hidup yang paling menggetarkan.
HH Dalai Lama lain lagi, ia melenggang pulang di jalan kasih sayang. Sementara sebagian orang belajar meditasi untuk membebaskan dirinya segera dari putaran kehidupan yang penuh sengsara di bumi, pemenang hadiah nobel perdamaian tahun 1989 ini kerap menangis di depan umum ketika melafalkan janji ini: ”Semasih ada ruang, semasih ada mahluk, izinkan saya terus menerus lahir ke sini, agar ada yang membimbing para mahluk keluar dari penderitaan”.
Itu sebabnya, pesan yang sering beliau sampaikan berulang-ulang tanpa mengenal bosan berbunyi begini: ”If I have to choose between religion and compassion, I will choose compassion”. Bila harus memilih antara agama dan kasih sayang, pilihlah kasih sayang.
Dan Anda pun dipersilahkan memilih pulang di jalan yang disukai. Namun berkaitan dengan jalan doa, pelayanan dan kasih sayang, ia serupa iklan Coca Cola: di mana saja, kapan saja, dengan siapa saja. Artinya, di setiap kesempatan (saat kerja atau di rumah) ada berlimpah kesempatan untuk melenggang pulang. Syaratnya sederhana, yang paling baik adalah menyediakan tangan bantuan.
Bila tidak bisa membantu, cukup jangan menyakiti.
0 komentar:
Post a Comment