By Ign Wibowo
Kalau orang berjalan di jalan Kramat Raya, yang dekat dengan jalan layang, di deretan toko penjual cat, dia masih akan dapat menyaksikan ruko-ruko bekas terbakar berwarna hitam. Itu bekas pembakaran pada peristiwa Mei 1998. Sudah 12 tahun dan dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya, yang mungkin sudah pergi, mungkin juga sudah mati. Tapi bangkai rumah yang berwarna hitam itu masih dapat ditemukan di Cempaka Putih, juga di Glodok. Mereka tegak di sana seolah-olah mau menjadi monumen tidak resmi, untuk mengingatkan apa yang terjadi 12 tahun yang silam.
Beruntunglah bahwa banyak rumah di ruko yang sudah dibangun lagi. Slipi Jaya Mall, misalnya, tidak meninggalkan jejak apapun, walaupun dulu sempat terbengkalai selama beberapa tahun. Memang orang Tionghoa pelan-pelan telah membangun kembali rumah-rumah mereka, mungkin juga menjualnya kepada yang berminat dan direnovasi. Kenang-kenangan akan peristiwa brutal terhapus sedikit demi sedikit, seiring dengan perjalanan waktu.
Sudah berhenti menangis
Orang Tionghoa dapat dikatakan sudah berhenti menangis. Memang tidak ada gunanya menangis terus-menerus. Mereka membangun kembali bisnis mereka dan mengembangkannya selama 12 tahun terakhir. Mereka mendirikan partai politik, walaupun kemudian berhenti di tengah jalan. Banyak yang mendirikan organisasi-organisa si atas dasar marga, atas dasar asal-usul desa di Daratan Cina, dan berbagai organisasi sosial lainnya. Ada juga organisasi yang didirikan untuk memperjuangkan tempat orang Tionghoa di tengah masyarakat Indonesia, seperti INTI. Tak kalah menarik banyak orang Tionghoa yang terjun dalam partai-partai politik, dan terpilih menjadi anggota DPR/DPRD, bahkan juga bupati. Begitu pula orang Tionghoa yang mengisi jabatan menteri.
Di bidang kebudayaan antusiasme orang Tionghoa juga tidak kalah mencolok. Kini di mana-mana dapat ditemukan aksara-aksara Han di pintu-pintu toko dan restoran. Koran beraksara Han yang dulu hanya ada satu saja, kini berjumlah banyak. Buku dan DVD dalam bahasa Mandarin bisa dibeli di banyak tempat. Dan tentu saja sekolah-sekolah bahasa Mandarin yang bermunculan di banyak tempat. Di beberapa sekolah malah sudah dijadikan kegiatan ekstrakuler, bahkan menjadi masuk dalam kurikulum, bersandingan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Mereka juga dengan lebih percaya diri mengenakan berbagai macam pakaian tradisional China. Setiap perayaan tahun baru (Imlek), mereka bisa mengadakan festival secara terbuka di ruang-ruang publik, sambil mementaskan tarian naga dan barongsai di jalan-jalan besar. Yang disebut belakangan ini juga dipentaskan dalam berbagai acara peresmian toko, mal, restoran, juga kampanye partai sewaktu pemilu. Sedemikian populernya barongsai, sehingga barongsai tidak hanya dimainkan oleh orang-orang Tionghoa, tetapi juga orang-orang non-Tionghoa.
Di Taman Mini Indonesia Indah kini sudah dapat ditemukan pavilyun orang Tionghoa, sebuah loncatan yang tidak tanggung-tanggung. Ini memperlihatkan pengakuan orang Tionghoa sejajar dengan suku-suku lain di Nusantara. Agama Khonghucu yang sempat dilarang, kini juga dinyatakan sebagai salah satu agama resmi yang diakui oleh negara. Sejak tahun 2009 orang Tionghoa boleh merasa bangga karena mereka juga mempunyai salah dari antara mereka yang diakui sebagai pahlawan, yaitu John Lie. Pengakuan yang paling mengesankan adalah pengakuan yang ada dalam UU Kewarganegaraan 2006. Di dalamnya (Pasal 2) dikatakan bahwa orang Tionghoa yang lahir di Indonesia diterima sebagai bagian dari bangsa Indonesia asli.
Masih ada suara tangis
Maka dari itu orang Tionghoa selama 10 tahun terakhir ini telah ke luar dari perangkap meratapi diri sendiri, suatu hal yang sangat mungkin terjadi mengingat begitu dahsyatnya trauma yang mereka alamai. Hanya di satu pokok saja masih terdengar tangis lirih, yaitu soal pemakaian kata “Cina.” Kata ini mereka alami sebagai bagian dari trauma masa lampau, ketika Orde Baru memerintahkan memakai kata ini untuk merendahkan mereka. Kata-kata padanan – Tionghoa dan Tiongkok – dilarang untuk dipergunakan. Tidak heran bahwa begitu reformasi bergulir, kata “Cina” mereka tolak. Hampir dalam setiap seminar maupun talk show, ada orang yang mengangkat penolakan kata itu dengan berapi-api.
Kata “Tionghoa” dan “Tiongkok” paling mendapat sambutan. Dalam beberapa sambutan tahun baru Imlek Presiden SBY juga memakai “Tiongkok.” Ada surat kabar nasional juga memakai kata ini. Tetapi mungkin kata ini terasa tidak nyaman bagi orang bukan dari suku Hokien, tiba-tiba muncul kata dari bahasa Inggris “China” (diucapkan “caina”) untuk menggantikan “Cina.”
Tidak sedikit surat kabar dan stasiun TV mendukung kata ini. Bahkan sebuah penerbitan buku nasional tidak kalah “galak” dalam mengimplementasikan tuntutan ini. Pemakaian kata “China” jelas merupakan pelanggaran kaidah bahasa Indonesia dan kedaulatan bangsa Indonesia. Mengapa memasukkan kata bahasa Inggris? Konon ini tuntutan dari masyarakat Tionghoa, tetapi konon pula ini tuntutan dari Pemerintah Republik Rakyat China (!)
Janganlah menangis lagi orang Tionghoa! Dua-belas tahun setelah Tragedi Mei ada begitu banyak hal positif yang dapat dirayakan.
I.Wibowo, Editor “Sesudah Air Mata Kering.
Kalau orang berjalan di jalan Kramat Raya, yang dekat dengan jalan layang, di deretan toko penjual cat, dia masih akan dapat menyaksikan ruko-ruko bekas terbakar berwarna hitam. Itu bekas pembakaran pada peristiwa Mei 1998. Sudah 12 tahun dan dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya, yang mungkin sudah pergi, mungkin juga sudah mati. Tapi bangkai rumah yang berwarna hitam itu masih dapat ditemukan di Cempaka Putih, juga di Glodok. Mereka tegak di sana seolah-olah mau menjadi monumen tidak resmi, untuk mengingatkan apa yang terjadi 12 tahun yang silam.
Beruntunglah bahwa banyak rumah di ruko yang sudah dibangun lagi. Slipi Jaya Mall, misalnya, tidak meninggalkan jejak apapun, walaupun dulu sempat terbengkalai selama beberapa tahun. Memang orang Tionghoa pelan-pelan telah membangun kembali rumah-rumah mereka, mungkin juga menjualnya kepada yang berminat dan direnovasi. Kenang-kenangan akan peristiwa brutal terhapus sedikit demi sedikit, seiring dengan perjalanan waktu.
Sudah berhenti menangis
Orang Tionghoa dapat dikatakan sudah berhenti menangis. Memang tidak ada gunanya menangis terus-menerus. Mereka membangun kembali bisnis mereka dan mengembangkannya selama 12 tahun terakhir. Mereka mendirikan partai politik, walaupun kemudian berhenti di tengah jalan. Banyak yang mendirikan organisasi-organisa si atas dasar marga, atas dasar asal-usul desa di Daratan Cina, dan berbagai organisasi sosial lainnya. Ada juga organisasi yang didirikan untuk memperjuangkan tempat orang Tionghoa di tengah masyarakat Indonesia, seperti INTI. Tak kalah menarik banyak orang Tionghoa yang terjun dalam partai-partai politik, dan terpilih menjadi anggota DPR/DPRD, bahkan juga bupati. Begitu pula orang Tionghoa yang mengisi jabatan menteri.
Di bidang kebudayaan antusiasme orang Tionghoa juga tidak kalah mencolok. Kini di mana-mana dapat ditemukan aksara-aksara Han di pintu-pintu toko dan restoran. Koran beraksara Han yang dulu hanya ada satu saja, kini berjumlah banyak. Buku dan DVD dalam bahasa Mandarin bisa dibeli di banyak tempat. Dan tentu saja sekolah-sekolah bahasa Mandarin yang bermunculan di banyak tempat. Di beberapa sekolah malah sudah dijadikan kegiatan ekstrakuler, bahkan menjadi masuk dalam kurikulum, bersandingan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Mereka juga dengan lebih percaya diri mengenakan berbagai macam pakaian tradisional China. Setiap perayaan tahun baru (Imlek), mereka bisa mengadakan festival secara terbuka di ruang-ruang publik, sambil mementaskan tarian naga dan barongsai di jalan-jalan besar. Yang disebut belakangan ini juga dipentaskan dalam berbagai acara peresmian toko, mal, restoran, juga kampanye partai sewaktu pemilu. Sedemikian populernya barongsai, sehingga barongsai tidak hanya dimainkan oleh orang-orang Tionghoa, tetapi juga orang-orang non-Tionghoa.
Di Taman Mini Indonesia Indah kini sudah dapat ditemukan pavilyun orang Tionghoa, sebuah loncatan yang tidak tanggung-tanggung. Ini memperlihatkan pengakuan orang Tionghoa sejajar dengan suku-suku lain di Nusantara. Agama Khonghucu yang sempat dilarang, kini juga dinyatakan sebagai salah satu agama resmi yang diakui oleh negara. Sejak tahun 2009 orang Tionghoa boleh merasa bangga karena mereka juga mempunyai salah dari antara mereka yang diakui sebagai pahlawan, yaitu John Lie. Pengakuan yang paling mengesankan adalah pengakuan yang ada dalam UU Kewarganegaraan 2006. Di dalamnya (Pasal 2) dikatakan bahwa orang Tionghoa yang lahir di Indonesia diterima sebagai bagian dari bangsa Indonesia asli.
Masih ada suara tangis
Maka dari itu orang Tionghoa selama 10 tahun terakhir ini telah ke luar dari perangkap meratapi diri sendiri, suatu hal yang sangat mungkin terjadi mengingat begitu dahsyatnya trauma yang mereka alamai. Hanya di satu pokok saja masih terdengar tangis lirih, yaitu soal pemakaian kata “Cina.” Kata ini mereka alami sebagai bagian dari trauma masa lampau, ketika Orde Baru memerintahkan memakai kata ini untuk merendahkan mereka. Kata-kata padanan – Tionghoa dan Tiongkok – dilarang untuk dipergunakan. Tidak heran bahwa begitu reformasi bergulir, kata “Cina” mereka tolak. Hampir dalam setiap seminar maupun talk show, ada orang yang mengangkat penolakan kata itu dengan berapi-api.
Kata “Tionghoa” dan “Tiongkok” paling mendapat sambutan. Dalam beberapa sambutan tahun baru Imlek Presiden SBY juga memakai “Tiongkok.” Ada surat kabar nasional juga memakai kata ini. Tetapi mungkin kata ini terasa tidak nyaman bagi orang bukan dari suku Hokien, tiba-tiba muncul kata dari bahasa Inggris “China” (diucapkan “caina”) untuk menggantikan “Cina.”
Tidak sedikit surat kabar dan stasiun TV mendukung kata ini. Bahkan sebuah penerbitan buku nasional tidak kalah “galak” dalam mengimplementasikan tuntutan ini. Pemakaian kata “China” jelas merupakan pelanggaran kaidah bahasa Indonesia dan kedaulatan bangsa Indonesia. Mengapa memasukkan kata bahasa Inggris? Konon ini tuntutan dari masyarakat Tionghoa, tetapi konon pula ini tuntutan dari Pemerintah Republik Rakyat China (!)
Janganlah menangis lagi orang Tionghoa! Dua-belas tahun setelah Tragedi Mei ada begitu banyak hal positif yang dapat dirayakan.
I.Wibowo, Editor “Sesudah Air Mata Kering.
0 komentar:
Post a Comment