(saduran bebas dari "Zhuge Liang Si Penemu Bakpao", The Epoch Times)
Alkisah pada zaman Tiga Negara, SamKok (dialek Hokkian) atau SanGuo (三国), Negara Pusat yang biasa dikenal dengan nama Tiongkok atau ZhongGuo (中国) terpecah menjadi 3 (tiga) negara; masing-masing yaitu: Shu-Han (蜀汉), Wei (魏), dan Wu (吴). Negara Shu-Han dipimpin oleh Lauw Pie atau Liu Bei (刘备), yang sebenarnya masih merupakan 'paman-raja' dari raja boneka dinasti Han yang dikendalikan oleh Cao Cao (曹操) sang Perdana Menteri yang 'durna', dan sepeninggalnya anaknya Cao Bei mengambil alih takhta dan mendirikan dinasti Wei.
LiuBei terkenal dengan sumpah sehidup-sematinya di kebon-persik, ketika mengangkat persaudaraan dengan Kwan Ie (GuanYu 关羽) sebagai saudara ke-2 dan Thio Hwie (ZhangFei 张飞) sebagai saudara ke-3; untuk menegakkan kembali dinasti Han (汉) yang sedang diambang kehancuran. Namun dalam kekacauan negara saat itu yang penuh intrik, sangat mustahil untuk mewujudkannya. Beruntung Lauw Pie dapat menarik seorang ahli strategi yang ulung, Tjukat Liang atau Zhuge Liang (诸葛亮), setelah dengan tidak kenal lelah melakukan pendekatan dengannya. Sehingga akhirnya mimpinya terwujud sebagian, yaitu dengan berdirinya negeri Shu-Han. Sepeninggalnya, negeri ini diperintah oleh anaknya, LiuChan, yang ternyata bodoh dan hanya berfoya-foya sepanjang hari, sehingga terkadang menyia-nyiakan nasehat dari Zhuge Liang sebagai walinya. Pada fihak lain, Zhuge Liang adalah loyalis tulen, tetap setia mengabdi negara sebagai Perdana Menteri, sekalipun sudah menerima amanat dari LiuBei (sebelum tarikan nafasnya yang terakhir) bahwa dia dapat mengambil alih kerajaan bilamana ternyata LiuChan tidak cakap.
Sebagai strateginya untuk mempersatukan Tiongkok kembali, dengan menundukkan 2 (dua) negara lainnya, Zhuge Liang mengirimkan ekspedisi ke NanMan (南蛮) dahulu, untuk mematahkan perlawanan suku yang bermukim di sebelah selatan negerinya, kira-kira adalah wilayah IndoChina sekarang. Setelah mengalami kemenangan yang gemilang dan hendak kembali ke utara, mereka terhambat oleh aliran sungai LuShui (泸水, sungai yang melintasi Tibet, Sichuan dan Yunnan) yang sangat bergelora tiada henti ketika itu. Penduduk lokal menyarankan untuk mengorbankan kepala manusia ke dalam sungai itu, untuk menenangkan arwah ratusan ribu pasukan Man (suku primitif di wilayah selatan yang baru ditaklukkan) yang mati kebakaran akibat peperangan tersebut.
Zhuge Liang, sebagai seorang yang bijaksana, tidak sampai hati untuk mengorbankan orang tidak berdosa. Setelah merenung sejenak, dia mendapatkan gagasan untuk mengatasi hal tersebut. Para prajurit diperintahkannya untuk mencincang daging sapi dan kambing (mungkin juga babi), lalu diremas dan dibumbui, dan dibungkus dengan adonan tepung, sehingga berbentuk seperti bentuk kepala manusia. Kemudian kepala manusia tiruan itu ditim, dan disebut sebagai ManShou (蛮首), yang artinya kepala orang biadab/primitif di daerah selatan. Ternyata setelah dicemplungkan ke dalam sungai LuShui, segera alirannya menjadi tenang kembali, sehingga pasukan Shu-Han berhasil menyeberanginya dengan selamat.
Kue ManShou (蛮首)merupakan cikal-bakal dari kue ManTou (馒头) yang dikenal sekarang. Aksara 'shou' (首), merupakan sinonim dari 'tou' (头), bermakna 'kepala'. Di Indonesia (印度尼西亚) kue ini lebih dikenal dengan sebutan 'bakpao' (roubao 肉包), dan isinya tidak melulu daging (babi), tetapi juga berisi kacang-hjau, kacang-merah, parutan kelapa dengan gula-jawa, cokelat dan sebagainya. Yang jelas tidak banyak yang tahu, bahwa ternyata kue bakpao tersebut adalah ciptaan dari seorang bijaksana yang mahir berbagai keilmuan; antara lain adalah: strategi kemiliteran, administrasi pemerintahan, ilmu falak (perbintangan) , ahli tehnik (engineering, kerna pernah menciptakan berbagai senjata dan alat transportasi berupa kuda dan lembu dari kayu yang dapat berjalan sendiri secara mekanis, dan hanya dapat dikendalikan oleh fihaknya saja).
Seandainya saja Indonesia memiliki seorang pemimpin yang se-kaliber Zhuge Liang, tentu negeri kita dapat segera mengejar ketertinggalan dari para tetangganya; Malaysia pun akan berfikir berulang-kali sebelum melakukan provokasi kepada negeri ini, dan juga mungkin tidak akan berani merampok karya kebudayaan Indonesia dan mengakuinya sebagai patent negerinya. Sayang selama hampir 5 (lima) tahun ini, Indonesia hanya diperintah oleh orang se-kaliber LiuChan.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta,
(Semoga semua mahluk hidup berbahagia)
Alkisah pada zaman Tiga Negara, SamKok (dialek Hokkian) atau SanGuo (三国), Negara Pusat yang biasa dikenal dengan nama Tiongkok atau ZhongGuo (中国) terpecah menjadi 3 (tiga) negara; masing-masing yaitu: Shu-Han (蜀汉), Wei (魏), dan Wu (吴). Negara Shu-Han dipimpin oleh Lauw Pie atau Liu Bei (刘备), yang sebenarnya masih merupakan 'paman-raja' dari raja boneka dinasti Han yang dikendalikan oleh Cao Cao (曹操) sang Perdana Menteri yang 'durna', dan sepeninggalnya anaknya Cao Bei mengambil alih takhta dan mendirikan dinasti Wei.
LiuBei terkenal dengan sumpah sehidup-sematinya di kebon-persik, ketika mengangkat persaudaraan dengan Kwan Ie (GuanYu 关羽) sebagai saudara ke-2 dan Thio Hwie (ZhangFei 张飞) sebagai saudara ke-3; untuk menegakkan kembali dinasti Han (汉) yang sedang diambang kehancuran. Namun dalam kekacauan negara saat itu yang penuh intrik, sangat mustahil untuk mewujudkannya. Beruntung Lauw Pie dapat menarik seorang ahli strategi yang ulung, Tjukat Liang atau Zhuge Liang (诸葛亮), setelah dengan tidak kenal lelah melakukan pendekatan dengannya. Sehingga akhirnya mimpinya terwujud sebagian, yaitu dengan berdirinya negeri Shu-Han. Sepeninggalnya, negeri ini diperintah oleh anaknya, LiuChan, yang ternyata bodoh dan hanya berfoya-foya sepanjang hari, sehingga terkadang menyia-nyiakan nasehat dari Zhuge Liang sebagai walinya. Pada fihak lain, Zhuge Liang adalah loyalis tulen, tetap setia mengabdi negara sebagai Perdana Menteri, sekalipun sudah menerima amanat dari LiuBei (sebelum tarikan nafasnya yang terakhir) bahwa dia dapat mengambil alih kerajaan bilamana ternyata LiuChan tidak cakap.
Sebagai strateginya untuk mempersatukan Tiongkok kembali, dengan menundukkan 2 (dua) negara lainnya, Zhuge Liang mengirimkan ekspedisi ke NanMan (南蛮) dahulu, untuk mematahkan perlawanan suku yang bermukim di sebelah selatan negerinya, kira-kira adalah wilayah IndoChina sekarang. Setelah mengalami kemenangan yang gemilang dan hendak kembali ke utara, mereka terhambat oleh aliran sungai LuShui (泸水, sungai yang melintasi Tibet, Sichuan dan Yunnan) yang sangat bergelora tiada henti ketika itu. Penduduk lokal menyarankan untuk mengorbankan kepala manusia ke dalam sungai itu, untuk menenangkan arwah ratusan ribu pasukan Man (suku primitif di wilayah selatan yang baru ditaklukkan) yang mati kebakaran akibat peperangan tersebut.
Zhuge Liang, sebagai seorang yang bijaksana, tidak sampai hati untuk mengorbankan orang tidak berdosa. Setelah merenung sejenak, dia mendapatkan gagasan untuk mengatasi hal tersebut. Para prajurit diperintahkannya untuk mencincang daging sapi dan kambing (mungkin juga babi), lalu diremas dan dibumbui, dan dibungkus dengan adonan tepung, sehingga berbentuk seperti bentuk kepala manusia. Kemudian kepala manusia tiruan itu ditim, dan disebut sebagai ManShou (蛮首), yang artinya kepala orang biadab/primitif di daerah selatan. Ternyata setelah dicemplungkan ke dalam sungai LuShui, segera alirannya menjadi tenang kembali, sehingga pasukan Shu-Han berhasil menyeberanginya dengan selamat.
Kue ManShou (蛮首)merupakan cikal-bakal dari kue ManTou (馒头) yang dikenal sekarang. Aksara 'shou' (首), merupakan sinonim dari 'tou' (头), bermakna 'kepala'. Di Indonesia (印度尼西亚) kue ini lebih dikenal dengan sebutan 'bakpao' (roubao 肉包), dan isinya tidak melulu daging (babi), tetapi juga berisi kacang-hjau, kacang-merah, parutan kelapa dengan gula-jawa, cokelat dan sebagainya. Yang jelas tidak banyak yang tahu, bahwa ternyata kue bakpao tersebut adalah ciptaan dari seorang bijaksana yang mahir berbagai keilmuan; antara lain adalah: strategi kemiliteran, administrasi pemerintahan, ilmu falak (perbintangan) , ahli tehnik (engineering, kerna pernah menciptakan berbagai senjata dan alat transportasi berupa kuda dan lembu dari kayu yang dapat berjalan sendiri secara mekanis, dan hanya dapat dikendalikan oleh fihaknya saja).
Seandainya saja Indonesia memiliki seorang pemimpin yang se-kaliber Zhuge Liang, tentu negeri kita dapat segera mengejar ketertinggalan dari para tetangganya; Malaysia pun akan berfikir berulang-kali sebelum melakukan provokasi kepada negeri ini, dan juga mungkin tidak akan berani merampok karya kebudayaan Indonesia dan mengakuinya sebagai patent negerinya. Sayang selama hampir 5 (lima) tahun ini, Indonesia hanya diperintah oleh orang se-kaliber LiuChan.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta,
(Semoga semua mahluk hidup berbahagia)
0 komentar:
Post a Comment