Salah satu doa orang Katolik adalah seperti ini, “Jadikan kerajaan-Mu, di atas bumi, seperti di dalam surga”. Maksudnya agar umat manusia, termasuk saya, keluarga saya, teman-teman saya, tetangga, guru, dosen, pemerintah, DPR, dan seterusnya.... pokoknya kita semua, dilindungi, diberkati, dan diselamatkan oleh Tuhan, bukan hanya nanti ketika kita masuk surga (mudah- mudahan... amin!), tetapi sekarang juga. Di atas bumi yang fana dan banyak gempa ini.
Di sisi lain,orang Islam, juga berdoa yang maksudnya kira-kira sama, ”Rabbana atina fiddunya hasanatan wa fil akhirati hasanatan waqina ‘azaban-nar”, yang artinya, “Ya Tuhan, berilah kami keselamatan di dunia maupun di akhirat, dan selamatkan kami dari api neraka”. Pada awal 2011 ini, saya berjumpa dengan Master Cheng Yen, seorang bhikkuni (biarawati Buddha), guru, filsuf, filantrofis, dan pemimpin sebuah organisasi sosial Buddha Tzu Chi.
Buddha Tzu Chi mempunyai puluhan (atau ratusan) proyek dan program untuk kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia. Saya bertemu dengan wanita yang sering disebut sebagai Ibu Theresa Asia ini, di kantor beliau, di Haolien, Taiwan Timur. Pesan beliau kepada kami (3 orang peneliti dari UI), “Manfaatkan hidup ini untuk membantu orang lain, untuk membuat dunia yang lebih baik. Karena dengan membantu orang lain, kita akan mencapai kedamaian abadi.”
Saya kurang tahu tentang agama-agama lain, karena saya bukan ahli ilmu Perbandingan Agama. Tetapi saya melihat persamaan filosofis antara ketiga agama itu, yaitu mewujudkan kerajaan Tuhan di dunia, yaitu dunia yang aman, tenteram, dan bebas dari penderitaan umat, sebagaimana Tuhan menjanjikan nanti di dalam surga atau akhirat.
Dengan cara itu, kita sendiri akan mencapai surga, atau kedamaian abadi. Memang dalam Buddha tidak dikenal konsep Tuhan seperti dalam Kristen dan Islam, tetapi secara spiritual saya yakin sama saja, karena setiap orang dalam alam bawah sadarnya tentu ingin sesuatu yang aman, damai, bahagia sesudah dia mati. Jadi tidak mengherankan, kalau kita lihat banyak sekolah, universitas, panti asuhan, rumah sakit, bantuan bencana alam dan proyek-proyek sosial lain yang dibangun, dibina, dikelola, dan dijalankan oleh organisasi- organisasi agama.
Sekolah Kanisius, Tarakanita, PSKD, Al-Azhar, Al-Ikhlas, Universitas Kristen Indonesia, Universitas Muhammadiyah, Universitas Islam Indonesia, Universitas Hindu Dharma (di Denpasar), Rumah Sakit Borromeus, Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Panti Asuhan Muslimin, dan masih banyak, banyak, banyak lagi. Bahkan Buddha Tzu Chi pun, sebagai agama minoritas di Indonesia, punya proyek sosial rumah susun, sekolah, dan rumah sakit di Jakarta, dan pembangunan perumahan pasca-tsunami di Aceh.
Semua itu adalah, menurut pendapat saya, upaya umat manusia, untuk mewujudkan Kerajaan Tuhan di bumi, seperti yang diajarkan oleh agamanya. Tetapi memang ada saja orang yang ingin agar Kerajaan Tuhan di dunia itu diwujudkan dalam wujudnya, yang persis seperti apa yang dibacanya dan ditafsirkannya dalam kitab sucinya masing-masing. Di abad pertengahan di Eropa, ada masanya di mana gereja Katolik memegang kekuasaan dunia-akhirat yang sangat besar.
Semua raja tidak bisa dinobatkan tanpa restu Paus, sebagai wakil Tuhan di dunia. Rahmat, pengampunan, penyucian (salvation) harus diminta dari Tuhan, karena hanya Tuhan yang bisa memberinya itu. Bahkan menurut kepercayaan ketika itu, dosa manusia bisa diampuni Tuhan dengan membeli sertifikat penebus dosa yang dikeluarkan oleh gereja. Praktik ini menimbulkan kemarahan pada seorang pastor Jerman bernama Martin Luther. Menurut dia, rahmat Tuhan bisa diperoleh oleh setiap orang yang beriman kepada Tuhan Yesus.
Tanpa melalui gereja ia menerjemahkan Injil dari bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman supaya kitab suci itu bisa dibaca oleh setiap orang dan ia menentang kekuasaan mutlak Paus. Ia pun menikah dengan Katharina von Bora, yang jelas-jelas melanggar aturan gereja. Sebagai akibatnya, pada tahun 1520 Martin Luther dikucilkan dari gereja oleh Paus Leo X dan pada tahun 1521, dia dinyatakan sebagai kriminal oleh Kaisar Roma Charles V.
Sesudah itu pun, terjadilah perang berkepanjangan antara kaum Katolik dan penganut Protestan (orang-orang Kristen yang protes). Tetapi setelah masa krisis itu, masalah internal dalam Kristen selesai. Beberapa abad kemudian, Max Weber (1864–1920), sosiolog Jerman, menulis buku Etika Protestan dan Kapitalisme, yang menjelaskan kedudukan agama dalam sistem pemerintahan, yang sekarang dikenal dengan istilah sekularisme.
Sejak itu negara- negara Barat maju pesat dalam ilmu pengetahuan dan sistem sosial-politiknya (demokrasi), yang masih tetap paling maju di dunia sampai hari ini. Sekularisme pada hakikatnya tidak meninggalkan agama. Yang ada adalah bahwa urusan dunia jangan dicampur dengan urusan akhirat. Memang dampaknya di negara-negara Barat, agama ditinggalkan. Rumah-rumah ibadah hanya terisi oleh kakek-kakek dan nenek-nenek, bahkan sekarang hampir kosong.
Di era komunis di Rusia, agama malah dilarang sama sekali. Akibatnya memang bisa jelek sekali. Bukan di lingkaran birokrasi (karena sudah diamankan oleh sistem sekuler), melainkan dalam kehidupan masyarakat yang seharusnya dikawal dengan agama yang seharusnya menciptakan Kerajaan Surga di bumi. Gagalnya institusi agama untuk menciptakan kerajaan surga di bumi, tampak dari banyaknya penyalahgunaan seks, penyalahgunaan narkoba, perdagangan manusia, maksiat, dan seterusnya.
Tetapi tidak berarti bahwa kita harus mencampurkan lagi urusan dunia dan agama, dengan misalnya mengharuskan hukum Allah (syariah) sebagai satu-satunya undang-undang yang berlaku. Apalagi, dengan mengafirkan orang yang bukan seiman. Atau meyakini bahwa Tuhan menciptakan banyak golongan manusia, tetapi hanya golongannya sendiri yang akan masuk surga, bahkan golongan- golongan lain itu boleh saja dibunuh, dibom, dan dihalalkan darahnya.
Bukankah ini justru bertentangan dengan doa muslim? Bukannya membebaskan diri dari api neraka, dan menciptakan damai di bumi, malah api neraka dibawa-bawa ke bumi. Celakanya, setiap hari stasiun- stasiun tv di Indonesia (11 stasiun nasional dan puluhan lokal) menyiarkan acara agama. Secara kumulatif, puluhan bahkan mungkin ratusan jam tayang disiapkan oleh tv untuk ceramah, tausiah, diskusi, acara hari besar keagamaan, ramadanan, natalan, dan seterusnya.
Apalagi kalau ditambahkan azan subuh dan magrib, masing-masing lima menit per stasiun... wah banyak sekali. Tetapi apa hasilnya? Bukan saja makin banyak bom atau perampokan oleh teroris (yang ini sih sudah jelas kriminal), melainkan juga sikap bermusuhan terhadap kelompok agama lain. Bukan saja oleh awam, malah oleh pemerintah sendiri.
Baru-baru ini Gereja Yasmin di Bogor disegel oleh Walikota dengan alasan gereja itu didirikan di atas jalan yang namanya memakai nama tokoh Islam, padahal Mahkamah Agung sudah memutuskan kepemilikan yang sah atas tanah untuk gereja itu. Di Yogya, Februari 2011,Gereja-Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Sleman, tiba-tiba didemo massa dan harus ditutup.
Dalam peristiwa Cikeusik, Maret 2011, yang menimbulkan korban jiwa beberapa pengikut Ahmadiyah, Menteri Agama justru menyalahkan jemaah Ahmadiyah yang bukan Islam (apakah kalau bukan Islam tidak berhak mendapat perlindungan HAM dari negara?). Praktik-praktik seperti ini, insya Allah, alih-alih menjadikan kerajaan surga dari bumi, malah mendatangkan api neraka ke dunia yang fana ini. Amit-amit jabang bayi.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi UI,
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Persada Indonesia
Di sisi lain,orang Islam, juga berdoa yang maksudnya kira-kira sama, ”Rabbana atina fiddunya hasanatan wa fil akhirati hasanatan waqina ‘azaban-nar”, yang artinya, “Ya Tuhan, berilah kami keselamatan di dunia maupun di akhirat, dan selamatkan kami dari api neraka”. Pada awal 2011 ini, saya berjumpa dengan Master Cheng Yen, seorang bhikkuni (biarawati Buddha), guru, filsuf, filantrofis, dan pemimpin sebuah organisasi sosial Buddha Tzu Chi.
Buddha Tzu Chi mempunyai puluhan (atau ratusan) proyek dan program untuk kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia. Saya bertemu dengan wanita yang sering disebut sebagai Ibu Theresa Asia ini, di kantor beliau, di Haolien, Taiwan Timur. Pesan beliau kepada kami (3 orang peneliti dari UI), “Manfaatkan hidup ini untuk membantu orang lain, untuk membuat dunia yang lebih baik. Karena dengan membantu orang lain, kita akan mencapai kedamaian abadi.”
Saya kurang tahu tentang agama-agama lain, karena saya bukan ahli ilmu Perbandingan Agama. Tetapi saya melihat persamaan filosofis antara ketiga agama itu, yaitu mewujudkan kerajaan Tuhan di dunia, yaitu dunia yang aman, tenteram, dan bebas dari penderitaan umat, sebagaimana Tuhan menjanjikan nanti di dalam surga atau akhirat.
Dengan cara itu, kita sendiri akan mencapai surga, atau kedamaian abadi. Memang dalam Buddha tidak dikenal konsep Tuhan seperti dalam Kristen dan Islam, tetapi secara spiritual saya yakin sama saja, karena setiap orang dalam alam bawah sadarnya tentu ingin sesuatu yang aman, damai, bahagia sesudah dia mati. Jadi tidak mengherankan, kalau kita lihat banyak sekolah, universitas, panti asuhan, rumah sakit, bantuan bencana alam dan proyek-proyek sosial lain yang dibangun, dibina, dikelola, dan dijalankan oleh organisasi- organisasi agama.
Sekolah Kanisius, Tarakanita, PSKD, Al-Azhar, Al-Ikhlas, Universitas Kristen Indonesia, Universitas Muhammadiyah, Universitas Islam Indonesia, Universitas Hindu Dharma (di Denpasar), Rumah Sakit Borromeus, Rumah Sakit Islam Cempaka Putih, Panti Asuhan Muslimin, dan masih banyak, banyak, banyak lagi. Bahkan Buddha Tzu Chi pun, sebagai agama minoritas di Indonesia, punya proyek sosial rumah susun, sekolah, dan rumah sakit di Jakarta, dan pembangunan perumahan pasca-tsunami di Aceh.
Semua itu adalah, menurut pendapat saya, upaya umat manusia, untuk mewujudkan Kerajaan Tuhan di bumi, seperti yang diajarkan oleh agamanya. Tetapi memang ada saja orang yang ingin agar Kerajaan Tuhan di dunia itu diwujudkan dalam wujudnya, yang persis seperti apa yang dibacanya dan ditafsirkannya dalam kitab sucinya masing-masing. Di abad pertengahan di Eropa, ada masanya di mana gereja Katolik memegang kekuasaan dunia-akhirat yang sangat besar.
Semua raja tidak bisa dinobatkan tanpa restu Paus, sebagai wakil Tuhan di dunia. Rahmat, pengampunan, penyucian (salvation) harus diminta dari Tuhan, karena hanya Tuhan yang bisa memberinya itu. Bahkan menurut kepercayaan ketika itu, dosa manusia bisa diampuni Tuhan dengan membeli sertifikat penebus dosa yang dikeluarkan oleh gereja. Praktik ini menimbulkan kemarahan pada seorang pastor Jerman bernama Martin Luther. Menurut dia, rahmat Tuhan bisa diperoleh oleh setiap orang yang beriman kepada Tuhan Yesus.
Tanpa melalui gereja ia menerjemahkan Injil dari bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman supaya kitab suci itu bisa dibaca oleh setiap orang dan ia menentang kekuasaan mutlak Paus. Ia pun menikah dengan Katharina von Bora, yang jelas-jelas melanggar aturan gereja. Sebagai akibatnya, pada tahun 1520 Martin Luther dikucilkan dari gereja oleh Paus Leo X dan pada tahun 1521, dia dinyatakan sebagai kriminal oleh Kaisar Roma Charles V.
Sesudah itu pun, terjadilah perang berkepanjangan antara kaum Katolik dan penganut Protestan (orang-orang Kristen yang protes). Tetapi setelah masa krisis itu, masalah internal dalam Kristen selesai. Beberapa abad kemudian, Max Weber (1864–1920), sosiolog Jerman, menulis buku Etika Protestan dan Kapitalisme, yang menjelaskan kedudukan agama dalam sistem pemerintahan, yang sekarang dikenal dengan istilah sekularisme.
Sejak itu negara- negara Barat maju pesat dalam ilmu pengetahuan dan sistem sosial-politiknya (demokrasi), yang masih tetap paling maju di dunia sampai hari ini. Sekularisme pada hakikatnya tidak meninggalkan agama. Yang ada adalah bahwa urusan dunia jangan dicampur dengan urusan akhirat. Memang dampaknya di negara-negara Barat, agama ditinggalkan. Rumah-rumah ibadah hanya terisi oleh kakek-kakek dan nenek-nenek, bahkan sekarang hampir kosong.
Di era komunis di Rusia, agama malah dilarang sama sekali. Akibatnya memang bisa jelek sekali. Bukan di lingkaran birokrasi (karena sudah diamankan oleh sistem sekuler), melainkan dalam kehidupan masyarakat yang seharusnya dikawal dengan agama yang seharusnya menciptakan Kerajaan Surga di bumi. Gagalnya institusi agama untuk menciptakan kerajaan surga di bumi, tampak dari banyaknya penyalahgunaan seks, penyalahgunaan narkoba, perdagangan manusia, maksiat, dan seterusnya.
Tetapi tidak berarti bahwa kita harus mencampurkan lagi urusan dunia dan agama, dengan misalnya mengharuskan hukum Allah (syariah) sebagai satu-satunya undang-undang yang berlaku. Apalagi, dengan mengafirkan orang yang bukan seiman. Atau meyakini bahwa Tuhan menciptakan banyak golongan manusia, tetapi hanya golongannya sendiri yang akan masuk surga, bahkan golongan- golongan lain itu boleh saja dibunuh, dibom, dan dihalalkan darahnya.
Bukankah ini justru bertentangan dengan doa muslim? Bukannya membebaskan diri dari api neraka, dan menciptakan damai di bumi, malah api neraka dibawa-bawa ke bumi. Celakanya, setiap hari stasiun- stasiun tv di Indonesia (11 stasiun nasional dan puluhan lokal) menyiarkan acara agama. Secara kumulatif, puluhan bahkan mungkin ratusan jam tayang disiapkan oleh tv untuk ceramah, tausiah, diskusi, acara hari besar keagamaan, ramadanan, natalan, dan seterusnya.
Apalagi kalau ditambahkan azan subuh dan magrib, masing-masing lima menit per stasiun... wah banyak sekali. Tetapi apa hasilnya? Bukan saja makin banyak bom atau perampokan oleh teroris (yang ini sih sudah jelas kriminal), melainkan juga sikap bermusuhan terhadap kelompok agama lain. Bukan saja oleh awam, malah oleh pemerintah sendiri.
Baru-baru ini Gereja Yasmin di Bogor disegel oleh Walikota dengan alasan gereja itu didirikan di atas jalan yang namanya memakai nama tokoh Islam, padahal Mahkamah Agung sudah memutuskan kepemilikan yang sah atas tanah untuk gereja itu. Di Yogya, Februari 2011,Gereja-Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Sleman, tiba-tiba didemo massa dan harus ditutup.
Dalam peristiwa Cikeusik, Maret 2011, yang menimbulkan korban jiwa beberapa pengikut Ahmadiyah, Menteri Agama justru menyalahkan jemaah Ahmadiyah yang bukan Islam (apakah kalau bukan Islam tidak berhak mendapat perlindungan HAM dari negara?). Praktik-praktik seperti ini, insya Allah, alih-alih menjadikan kerajaan surga dari bumi, malah mendatangkan api neraka ke dunia yang fana ini. Amit-amit jabang bayi.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi UI,
Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Persada Indonesia
0 komentar:
Post a Comment