Kala Suku Moi Papua Tegaskan Batas Wilayah
Suku Moi, merupakan masyarakat mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Sorong dan Kota Sorong, Papua Barat, sedang merampungkan pemetaan partisipatif. Upaya ini untuk menegaskan kembali wilayah adat yang terancam karena perusahaan minyak Petrochina dan perkebunan sawit.
Silas Kalami, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Sorong, mengatakan, pemetaan partisipatif ini masih terbatas, pada Sub Moi Kelim. Wilayah adat Moi, sangat luas, tidak hanya terbentang di tiga wilayah administrasi Sorong daratan (Kota Sorong dan Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan), juga mencakup Raja Ampat dan sejumlah daerah lain.
“Wilayah adat Suku Moi, mencakup 400 ribu hektar. Sekarang, kami baru memetakan Moi Kelim sekitar empat ribu hektar,” katanya di Sorong, akhir Oktober 2014.
Moi memiliki 10 sub suku dengan batasan masing-masing. Sub suku ini terbagi menjadi 100-an marga besar dan marga kecil disebut gelet.
Di antara sub suku Moi ini antara lain, Moi Kalasa, Moi Kalagedi, Moi Malamsimsa, Moi Amber, Moi Malayik, Moi Seget, Moi Kelim, Moi Walala, Moi Abun, Moi Malaibin. Hanya beberapa sub Suku Moi dikenal luas, khusus di Kabupaten Sorong. “Suku Moi menyebar hampir di semua wilayah kepala burung Papua.”
Di Raja Ampat, Moi Mayya—dulu sub Moi kini menjadi suku tersendiri, dengan banyak sub suku dan gelet yang menjadi bagian.
Menurut Silas, pemetaan ini memiliki tantangan tersendiri. Identifikasi gelet-gelet pun bukanlah hal mudah, karena harus meminta persetujuan dari tokoh-tokoh suku.
“Dalam pertemuan adat ditetapkan mana gelet masih ada dan yang sudah tak ada. Begitupun dalam penetapan batas-batas wilayah, jangan sampai mengambil wilayah orang lain.”
Di Distrik Klasuat, Kabupaten Sorong, perusahaan minyak asal China, Petrochina, membangun kawasan perkampungan untuk warga Moi yang dulu tinggal di kawasan hutan. Sekitar 18 keluarga kini berdiam di daerah itu.
Hasil pemetaan, katanya, akan disampaikan pada pemerintah daerah, yang akan menjadi salah satu acuan dalam pembentukan peraturan daerah perlindungan masyarakat adat di kedua kabupaten dan kota itu.
Suku Moi, sebagaimana suku di Papua lain, memiliki keunikan tersendiri dalam pembentukan gelet. Sebuah gelet bisa saja hilang karena berpindah ke suku lain. Sebaliknya, suku lain terbuka menjadi bagian Moi.
Penyebabnya, antara lain karena ‘diusir alam’, berupa bencana atau tanda-tanda lain yang ditunjukkan alam.
“Ada tanda gelet tertentu sudah tidak diperkenankan berada di wilayah yang mereka sekarang dan harus berpindah ke tempat lain.”
Dia mencontohkan, gelet dari Biak bernama Magabro, karena proses pengusiran alam, mereka berdiam diri dan menjadi gelet tersendiri di Moi dengan nama Magablo.
Menurut Silas, Moi termasuk salah satu suku di Papua yang masih kuat mempertahankan adat istiadat, meskipun beberapa nilai-nilai luhur mulai luntur. Informasi turun menurun terputus, antara lain sistem pendidikan adat yang disebut Kambik, sudah tak ada lagi.
Kambik Moi dulu di Kamrau. Di dalam kambik ini diajarkan berbagai hal tentang adat Moi kepada anak laki-laki. Anak-anak perempuan tidak diperkenankan karena khawatir jika menikah dengan orang luar menceritakan rahasia dalam pendidikan ke pihak luar.
“Dalam pendidikan itu diajarkan bagaimana menghargai adat, hutan dan leluhur. Selama tiga tahun mereka dididik dalam sekolah adat ini.”
Kini sistem pendidikan ini tak ada lagi, tergantikan pendidikan modern, dan terkikis karena masuk agama. Faktor lain bersifat politis, yang lalu dibubarkan militer sejak 1960-an. Pada tahun-tahun 1970-an, Kambik ini benar-benar hilang. Kini Silas mencoba menghidupkan kembali.
Menurut Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, Yusak K Magablo, pemetaan partisipatif dibarengi pemetaan sosial dan identifikasi kembali suku-suku dan gelet-gelet di Sorong. Ini memiliki arti penting tidak hanya dalam mempertahankan eksistensi dan tradisi juga landasan ketika berhadapan dengan investor.
Saat ini, misal, tengah dibangun eksplorasi minyak oleh Petrochina, perusahaan minyak dari China, dengan wilayah mencakup sejumlah kawasan adat Moi. Yusak melihat, investasi ini tanpa mempertimbangkan masyarakat adat yang berdiam di sana.
Petrochina meski sudah lama beroperasi di Sorong, namun baru awal 2014 mulai beroperasi di kawasan adat Moi seluas empat hektar. Perusahaan ini mendapat penentangan masyarakat karena dianggap tidak terbuka, termasuk ketidakjelasan kontribusi kepada masyarakat sekitar.
“Selama ini, pertanyaan-pertanyaan masyarakat tidak sepenuhnya dijawab baik, kadang dijawab, kadang tidak. Tidak ada realisasi janji-janji mereka di awal-awal. Bahkan tak pernah ada pembicaraan jelas dengan tokoh adat setempat,” kata Yusak.
Ketika masyarakat mencoba menuntut dan menghalang-halangi pengambilan sampel perusahaan, mereka harus berhadapan dengan polisi. “Pada Oktober lalu, empat warga ditangkap polisi. Mereka baru dilepas setelah ada negosiasi dengan perusahaan dan pemerintah daerah. Meski hanya ditangkap sehari, setelah penangkapan ini masyarakat menjadi takut.”
Sebenarnya, Petrochina membantu warga membuka lahan pemukiman di daerah Kalasuat, salah satu distrik di Sorong. Kawasan ini akan menjadi perkampungan tersendiri dengan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Saat ini, terdapat 18 keluarga bermukim di sana. Hanya, Yusak menilai kontribusi Petrochina masih tergolong kecil.
“Mereka hanya diminta menggusur daerah, diratakan untuk pemukiman. Hanya itu saja.”
Ancaman lain, sejumlah kawasan hutan yang dulu HPH milik PT Inti Pura tiba-tiba menjadi kawasan sawit di Klamono. Masyarakat mencoba menolak, namun perusahaan dan pemerintah berdalih itu untuk kesejahteraan masyarakat.
“Masyarakatpun mau tidak mau harus menerima, jika menolak dianggap menolak program pemerintah. Apalagi ada iming-iming pada papa-papa dan mama-mama nanti dibikin rumah mewah, beli TV. Kesehatan baik. Sampai sekarang, tak ada satupun janji itu terealisasi. Masyarakat merasa dibohongi.”
Kemarahan warga atas pembukaan lahan sawit ini, kata Yusak sangat wajar. Sistem kepemilikan dan pengelolaan hutan di Papua berbasis gelet.
“Ketika mereka kehilangan lahan kelola tak bisa seenaknya pindah ke tempat lain, karena bisa jadi itu punya gelet lain. Mana mau gelet lain memberikan lahan mereka dikelola orang lain.”
Yusak berharap, pemetaan partisipatif ini akan menghasilkan database sub-sub suku dan gelet-gelet Suku Moi yang lebih konferehensif. Termasuk, menemukan kembali sejumlah gelet yang selama ini dianggap punah.
“Sejumlah gelet selama ini dianggap punah, setelah ditelusir ternyata masih ada.”
Persoalan lain cukup menganggu perjuangan masyarakat adat di Papua, adalah kelembagaan adat tandingan justru tidak berpihak kepada kepentingan warga. Mereka malah menjadi alat klaim perusahaan dan pemerintah akan keterwakilan adat dalam setiap pengambilan kebijakan.“Ini yang kerap menimbulkan konflik perpecahan.”
Menurut Yusak, sebagaimana suku lain, Moi juga memiliki struktur sosial tersendiri. Di tingkat teratas terdapat tokoh-tokoh adat, yang terdiri dari para Nedla, neliging (orang yang berbahasa baik), nefulus (orang sejarah), ne kook (orang kaya) dan nefoos (orang suci).
Terdapat juga pejabat-pejabat adat seperti usmas, tukang, finise atau pimpinan pelaksana rumah adat, tulukma, untlan (guru yang mengajar di kambik), dan kmaben.
“Mereka ini yang berhak mendapatkan pangkat sebagai kepala suku atau panglima perang yang berwenang melakukan acara adat.”
Di tingkat bawah terdapat wiliwi, yaitu anak laki-laki yang telah mengikuti pendidikan adat di Kambik dan diwisuda secara adat. Kelompok ini dibina menjadi pemimpin seperti kelompok pertama dimana mereka diajarkan filosofi kepemimpinan dan seluk beluk adat-istiadat Moi dengan menyeluruh.
Ada juga kelompok, yang sebenarnya laki-laki atau nedla namun sebagai nelagi atau perempuan. Kelompok ini terdiri dari anak laki-laki, pemuda, dan laki-laki dewasa yang belum pernah mengikuti pendidikan adat di Kambik. Dalam struktur Moi masuk sebagai nelagi.
Adapula nelagi murni, terdiri dari perempuan Moi, dengan pemimpin dan tokoh tersendiri. Mereka juga mengetahui fulus atau ilmu-ilmu yang dapat dikuasai perempuan.
Pemetaan partisipatif di Kabupaten Sorong ini bagian dari kerjasama antara PD AMAN Sorong Raya dengan Samdhana Institute. Selain Moi Sorong, daerah lain segera dipetakan adalah Moi Mayya di Raja Ampat.
Tepian hutan adat Moi. Hutan adat Moi di Sorong menjadi incaran investor, mulai minyak hingga sawit. Sayangnya keberadaan mereka tidak memberi nilai lebih bagi masyarakat. Berbagai janji kesajehteraan tak terealisasi, justru yang terjadi penangkapan warga.
Suku Moi, merupakan masyarakat mendiami sebagian besar wilayah Kabupaten Sorong dan Kota Sorong, Papua Barat, sedang merampungkan pemetaan partisipatif. Upaya ini untuk menegaskan kembali wilayah adat yang terancam karena perusahaan minyak Petrochina dan perkebunan sawit.
Silas Kalami, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Sorong, mengatakan, pemetaan partisipatif ini masih terbatas, pada Sub Moi Kelim. Wilayah adat Moi, sangat luas, tidak hanya terbentang di tiga wilayah administrasi Sorong daratan (Kota Sorong dan Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan), juga mencakup Raja Ampat dan sejumlah daerah lain.
“Wilayah adat Suku Moi, mencakup 400 ribu hektar. Sekarang, kami baru memetakan Moi Kelim sekitar empat ribu hektar,” katanya di Sorong, akhir Oktober 2014.
Moi memiliki 10 sub suku dengan batasan masing-masing. Sub suku ini terbagi menjadi 100-an marga besar dan marga kecil disebut gelet.
Di antara sub suku Moi ini antara lain, Moi Kalasa, Moi Kalagedi, Moi Malamsimsa, Moi Amber, Moi Malayik, Moi Seget, Moi Kelim, Moi Walala, Moi Abun, Moi Malaibin. Hanya beberapa sub Suku Moi dikenal luas, khusus di Kabupaten Sorong. “Suku Moi menyebar hampir di semua wilayah kepala burung Papua.”
Di Raja Ampat, Moi Mayya—dulu sub Moi kini menjadi suku tersendiri, dengan banyak sub suku dan gelet yang menjadi bagian.
Menurut Silas, pemetaan ini memiliki tantangan tersendiri. Identifikasi gelet-gelet pun bukanlah hal mudah, karena harus meminta persetujuan dari tokoh-tokoh suku.
“Dalam pertemuan adat ditetapkan mana gelet masih ada dan yang sudah tak ada. Begitupun dalam penetapan batas-batas wilayah, jangan sampai mengambil wilayah orang lain.”
Di Distrik Klasuat, Kabupaten Sorong, perusahaan minyak asal China, Petrochina, membangun kawasan perkampungan untuk warga Moi yang dulu tinggal di kawasan hutan. Sekitar 18 keluarga kini berdiam di daerah itu.
Hasil pemetaan, katanya, akan disampaikan pada pemerintah daerah, yang akan menjadi salah satu acuan dalam pembentukan peraturan daerah perlindungan masyarakat adat di kedua kabupaten dan kota itu.
Suku Moi, sebagaimana suku di Papua lain, memiliki keunikan tersendiri dalam pembentukan gelet. Sebuah gelet bisa saja hilang karena berpindah ke suku lain. Sebaliknya, suku lain terbuka menjadi bagian Moi.
Penyebabnya, antara lain karena ‘diusir alam’, berupa bencana atau tanda-tanda lain yang ditunjukkan alam.
“Ada tanda gelet tertentu sudah tidak diperkenankan berada di wilayah yang mereka sekarang dan harus berpindah ke tempat lain.”
Dia mencontohkan, gelet dari Biak bernama Magabro, karena proses pengusiran alam, mereka berdiam diri dan menjadi gelet tersendiri di Moi dengan nama Magablo.
Menurut Silas, Moi termasuk salah satu suku di Papua yang masih kuat mempertahankan adat istiadat, meskipun beberapa nilai-nilai luhur mulai luntur. Informasi turun menurun terputus, antara lain sistem pendidikan adat yang disebut Kambik, sudah tak ada lagi.
Kambik Moi dulu di Kamrau. Di dalam kambik ini diajarkan berbagai hal tentang adat Moi kepada anak laki-laki. Anak-anak perempuan tidak diperkenankan karena khawatir jika menikah dengan orang luar menceritakan rahasia dalam pendidikan ke pihak luar.
“Dalam pendidikan itu diajarkan bagaimana menghargai adat, hutan dan leluhur. Selama tiga tahun mereka dididik dalam sekolah adat ini.”
Kini sistem pendidikan ini tak ada lagi, tergantikan pendidikan modern, dan terkikis karena masuk agama. Faktor lain bersifat politis, yang lalu dibubarkan militer sejak 1960-an. Pada tahun-tahun 1970-an, Kambik ini benar-benar hilang. Kini Silas mencoba menghidupkan kembali.
Menurut Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sorong Raya, Yusak K Magablo, pemetaan partisipatif dibarengi pemetaan sosial dan identifikasi kembali suku-suku dan gelet-gelet di Sorong. Ini memiliki arti penting tidak hanya dalam mempertahankan eksistensi dan tradisi juga landasan ketika berhadapan dengan investor.
Saat ini, misal, tengah dibangun eksplorasi minyak oleh Petrochina, perusahaan minyak dari China, dengan wilayah mencakup sejumlah kawasan adat Moi. Yusak melihat, investasi ini tanpa mempertimbangkan masyarakat adat yang berdiam di sana.
Petrochina meski sudah lama beroperasi di Sorong, namun baru awal 2014 mulai beroperasi di kawasan adat Moi seluas empat hektar. Perusahaan ini mendapat penentangan masyarakat karena dianggap tidak terbuka, termasuk ketidakjelasan kontribusi kepada masyarakat sekitar.
“Selama ini, pertanyaan-pertanyaan masyarakat tidak sepenuhnya dijawab baik, kadang dijawab, kadang tidak. Tidak ada realisasi janji-janji mereka di awal-awal. Bahkan tak pernah ada pembicaraan jelas dengan tokoh adat setempat,” kata Yusak.
Ketika masyarakat mencoba menuntut dan menghalang-halangi pengambilan sampel perusahaan, mereka harus berhadapan dengan polisi. “Pada Oktober lalu, empat warga ditangkap polisi. Mereka baru dilepas setelah ada negosiasi dengan perusahaan dan pemerintah daerah. Meski hanya ditangkap sehari, setelah penangkapan ini masyarakat menjadi takut.”
Sebenarnya, Petrochina membantu warga membuka lahan pemukiman di daerah Kalasuat, salah satu distrik di Sorong. Kawasan ini akan menjadi perkampungan tersendiri dengan fasilitas kesehatan dan pendidikan. Saat ini, terdapat 18 keluarga bermukim di sana. Hanya, Yusak menilai kontribusi Petrochina masih tergolong kecil.
“Mereka hanya diminta menggusur daerah, diratakan untuk pemukiman. Hanya itu saja.”
Ancaman lain, sejumlah kawasan hutan yang dulu HPH milik PT Inti Pura tiba-tiba menjadi kawasan sawit di Klamono. Masyarakat mencoba menolak, namun perusahaan dan pemerintah berdalih itu untuk kesejahteraan masyarakat.
“Masyarakatpun mau tidak mau harus menerima, jika menolak dianggap menolak program pemerintah. Apalagi ada iming-iming pada papa-papa dan mama-mama nanti dibikin rumah mewah, beli TV. Kesehatan baik. Sampai sekarang, tak ada satupun janji itu terealisasi. Masyarakat merasa dibohongi.”
Kemarahan warga atas pembukaan lahan sawit ini, kata Yusak sangat wajar. Sistem kepemilikan dan pengelolaan hutan di Papua berbasis gelet.
“Ketika mereka kehilangan lahan kelola tak bisa seenaknya pindah ke tempat lain, karena bisa jadi itu punya gelet lain. Mana mau gelet lain memberikan lahan mereka dikelola orang lain.”
Yusak berharap, pemetaan partisipatif ini akan menghasilkan database sub-sub suku dan gelet-gelet Suku Moi yang lebih konferehensif. Termasuk, menemukan kembali sejumlah gelet yang selama ini dianggap punah.
“Sejumlah gelet selama ini dianggap punah, setelah ditelusir ternyata masih ada.”
Persoalan lain cukup menganggu perjuangan masyarakat adat di Papua, adalah kelembagaan adat tandingan justru tidak berpihak kepada kepentingan warga. Mereka malah menjadi alat klaim perusahaan dan pemerintah akan keterwakilan adat dalam setiap pengambilan kebijakan.“Ini yang kerap menimbulkan konflik perpecahan.”
Menurut Yusak, sebagaimana suku lain, Moi juga memiliki struktur sosial tersendiri. Di tingkat teratas terdapat tokoh-tokoh adat, yang terdiri dari para Nedla, neliging (orang yang berbahasa baik), nefulus (orang sejarah), ne kook (orang kaya) dan nefoos (orang suci).
Terdapat juga pejabat-pejabat adat seperti usmas, tukang, finise atau pimpinan pelaksana rumah adat, tulukma, untlan (guru yang mengajar di kambik), dan kmaben.
“Mereka ini yang berhak mendapatkan pangkat sebagai kepala suku atau panglima perang yang berwenang melakukan acara adat.”
Di tingkat bawah terdapat wiliwi, yaitu anak laki-laki yang telah mengikuti pendidikan adat di Kambik dan diwisuda secara adat. Kelompok ini dibina menjadi pemimpin seperti kelompok pertama dimana mereka diajarkan filosofi kepemimpinan dan seluk beluk adat-istiadat Moi dengan menyeluruh.
Ada juga kelompok, yang sebenarnya laki-laki atau nedla namun sebagai nelagi atau perempuan. Kelompok ini terdiri dari anak laki-laki, pemuda, dan laki-laki dewasa yang belum pernah mengikuti pendidikan adat di Kambik. Dalam struktur Moi masuk sebagai nelagi.
Adapula nelagi murni, terdiri dari perempuan Moi, dengan pemimpin dan tokoh tersendiri. Mereka juga mengetahui fulus atau ilmu-ilmu yang dapat dikuasai perempuan.
Pemetaan partisipatif di Kabupaten Sorong ini bagian dari kerjasama antara PD AMAN Sorong Raya dengan Samdhana Institute. Selain Moi Sorong, daerah lain segera dipetakan adalah Moi Mayya di Raja Ampat.
Tepian hutan adat Moi. Hutan adat Moi di Sorong menjadi incaran investor, mulai minyak hingga sawit. Sayangnya keberadaan mereka tidak memberi nilai lebih bagi masyarakat. Berbagai janji kesajehteraan tak terealisasi, justru yang terjadi penangkapan warga.
0 komentar:
Post a Comment