Etnik Tionghoa dan Kiprahnya di TNI
Pemerintahan Orde Baru menghasilkan segregasi masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang terpecah dan saling curiga. Salah satu dampak kebijakan politik Orba yang memecah-belah rakyat adalah hilangnya peran warga Tionghoa dalam dunia militer di dalam Tentara Nasional Indonesia.
Mayor Jenderal Gede Sumertha dari Universitas Pertahanan dalam bedah buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara Sampai Indonesia terbitan Penerbit Buku Kompas di Gedong Joeang 45, Jakarta, menegaskan, sejatinya dalam tubuh angkatan perang Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak ada diskriminasi, apalagi perbedaan secara rasial, termasuk terhadap etnik Tionghoa.
”Waktu saya Taruna Akabri, pengasuh saya berpangkat kapten bernama Hendra Cahyana, seorang Tionghoa. Beliau dijuluki Acong. Semua anak asuh (Taruna) beliau rata-rata jadi jenderal,” kata Sumertha yang lama berkiprah di misi PBB dan merintis Pusat Misi Pemelihara Perdamaian di Sentul, Bogor.
Dia pun mengaku pernah memiliki bawahan seorang kolonel dari TNI AU yang seorang Tionghoa asal Kalimantan Barat dan kemudian menjadi Atase Pertahanan RI untuk Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada era tahun 2000-an. Selain memiliki loyalitas, dedikasi, dan integritas, menurut Sumertha, bawahannya bahkan terlibat dalam tim intelijen khusus.
Pengamat militer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramodhawardani, yang tampil sebagai pembicara menegaskan, buku tersebut tidak bicara melulu soal Tionghoa ataupun membesarkan salah satu kelompok masyarakat.
”Pesan yang terpenting adalah adanya pengabaian, amnesia sejarah, serta masih ada pembedaan dan diskriminasi di masyarakat Indonesia secara luas. Yang menjadi korban adalah keutuhan dan kebangsaan Indonesia yang diperjuangkan bersama,” kata Jaleswari.
Pada acara tersebut hadir seorang perwira Pasukan Khas TNI AU, pemuda Tionghoa asal Jambi bernama Hendra Khoo. Kakeknya juga personel militer Indonesia di masa silam.
Berbagai peran
Buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran yang diterbitkan dengan inisiatif Eddie Lembong, pendiri Yayasan Nation Building (Nabil) lebih dari tiga tahun silam, mengungkap fakta sejarah peran etnik Tionghoa dalam pembentukan kebangsaan Indonesia dalam kurun waktu abad ke-11 Masehi di Bali; semasa Zheng He; serangan Jepara ke Malaka; perang koalisi Mataram-Tionghoa melawan VOC (1740-1743) yang dihilangkan dari buku sejarah nasional semasa Orba; dan Perang Kongsi Tionghoa melawan Hindia-Belanda di Kalimantan Barat.
Buku tersebut juga mengungkap peran pemuda Tionghoa pada abad ke-20 dalam konflik internasional, seperti Perang Saudara Spanyol, Perang Sino-Japan, dan peran laskar-laskar Tionghoa dalam Perang Kemerdekaan RI di berbagai pertempuran, seperti Pertempuran 10 November 1945, pertempuran Palagan Ambarawa melawan Inggris-Belanda, perebutan Irian Barat (Trikora), Operasi Ganyang Malaysia (Dwikora), dan Operasi Seroja Timor Timur.
Asisten Intelijen Kodam Jaya Kolonel (Inf) Sony Widjaja yang mewakili Pangdam Jaya Mayjen Agus Utomo mengakui, diskriminasi, termasuk stereotip, terhadap etnik Tionghoa harus diperangi bersama.
”Ini persoalan diskriminasi yang masih ada di masyarakat dan harus dilawan untuk membangun kebangsaan Indonesia. Negara Indonesia ini diperjuangkan semua komponen bangsa, termasuk etnik Tionghoa. Sudah waktunya pemuda-pemudi Tionghoa kembali mengabdi di sektor kemiliteran,” kata Sony.
Maka, mengembalikan peran etnik Tionghoa dalam kemiliteran adalah salah satu pintu demi mengukuhkan kohesi kebangsaan Indonesia yang setara dan bersatu.
Pemerintahan Orde Baru menghasilkan segregasi masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang terpecah dan saling curiga. Salah satu dampak kebijakan politik Orba yang memecah-belah rakyat adalah hilangnya peran warga Tionghoa dalam dunia militer di dalam Tentara Nasional Indonesia.
Mayor Jenderal Gede Sumertha dari Universitas Pertahanan dalam bedah buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara Sampai Indonesia terbitan Penerbit Buku Kompas di Gedong Joeang 45, Jakarta, menegaskan, sejatinya dalam tubuh angkatan perang Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak ada diskriminasi, apalagi perbedaan secara rasial, termasuk terhadap etnik Tionghoa.
”Waktu saya Taruna Akabri, pengasuh saya berpangkat kapten bernama Hendra Cahyana, seorang Tionghoa. Beliau dijuluki Acong. Semua anak asuh (Taruna) beliau rata-rata jadi jenderal,” kata Sumertha yang lama berkiprah di misi PBB dan merintis Pusat Misi Pemelihara Perdamaian di Sentul, Bogor.
Dia pun mengaku pernah memiliki bawahan seorang kolonel dari TNI AU yang seorang Tionghoa asal Kalimantan Barat dan kemudian menjadi Atase Pertahanan RI untuk Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada era tahun 2000-an. Selain memiliki loyalitas, dedikasi, dan integritas, menurut Sumertha, bawahannya bahkan terlibat dalam tim intelijen khusus.
Pengamat militer Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jaleswari Pramodhawardani, yang tampil sebagai pembicara menegaskan, buku tersebut tidak bicara melulu soal Tionghoa ataupun membesarkan salah satu kelompok masyarakat.
”Pesan yang terpenting adalah adanya pengabaian, amnesia sejarah, serta masih ada pembedaan dan diskriminasi di masyarakat Indonesia secara luas. Yang menjadi korban adalah keutuhan dan kebangsaan Indonesia yang diperjuangkan bersama,” kata Jaleswari.
Pada acara tersebut hadir seorang perwira Pasukan Khas TNI AU, pemuda Tionghoa asal Jambi bernama Hendra Khoo. Kakeknya juga personel militer Indonesia di masa silam.
Berbagai peran
Buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran yang diterbitkan dengan inisiatif Eddie Lembong, pendiri Yayasan Nation Building (Nabil) lebih dari tiga tahun silam, mengungkap fakta sejarah peran etnik Tionghoa dalam pembentukan kebangsaan Indonesia dalam kurun waktu abad ke-11 Masehi di Bali; semasa Zheng He; serangan Jepara ke Malaka; perang koalisi Mataram-Tionghoa melawan VOC (1740-1743) yang dihilangkan dari buku sejarah nasional semasa Orba; dan Perang Kongsi Tionghoa melawan Hindia-Belanda di Kalimantan Barat.
Buku tersebut juga mengungkap peran pemuda Tionghoa pada abad ke-20 dalam konflik internasional, seperti Perang Saudara Spanyol, Perang Sino-Japan, dan peran laskar-laskar Tionghoa dalam Perang Kemerdekaan RI di berbagai pertempuran, seperti Pertempuran 10 November 1945, pertempuran Palagan Ambarawa melawan Inggris-Belanda, perebutan Irian Barat (Trikora), Operasi Ganyang Malaysia (Dwikora), dan Operasi Seroja Timor Timur.
Asisten Intelijen Kodam Jaya Kolonel (Inf) Sony Widjaja yang mewakili Pangdam Jaya Mayjen Agus Utomo mengakui, diskriminasi, termasuk stereotip, terhadap etnik Tionghoa harus diperangi bersama.
”Ini persoalan diskriminasi yang masih ada di masyarakat dan harus dilawan untuk membangun kebangsaan Indonesia. Negara Indonesia ini diperjuangkan semua komponen bangsa, termasuk etnik Tionghoa. Sudah waktunya pemuda-pemudi Tionghoa kembali mengabdi di sektor kemiliteran,” kata Sony.
Maka, mengembalikan peran etnik Tionghoa dalam kemiliteran adalah salah satu pintu demi mengukuhkan kohesi kebangsaan Indonesia yang setara dan bersatu.
0 komentar:
Post a Comment