728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Menemukan Kebahagiaan Lewat Harapan

    Pengungsi Anak, Menemukan Kebahagiaan di Sanggar Belajar

    Jumlah pencari suaka di Indonesia
    "Good Morniiiing! How are you?" belasan anak berusia 5-7 tahun di Cisarua Refugee Learning Centre, Bogor, serentak menyapa dengan suara lantang.

    Senyum merekah dan jabat tangan diberikan guru serta anak-anak kepada tamu yang berkunjung. Hangat. Seperti saudara yang lama tak bersua.

    Pagi itu mereka sedang mengerjakan soal human arts (seni dan sejarah) untuk ujian semester akhir.

    Semangat anak-anak itu yang membuat Madiha Ali (16), remaja cantik yang fasih berbahasa Inggris, selalu senang mengajar Sains, Sejarah, Matematika, dan Bahasa Inggris.

    Sejak Cisarua Refugee Learning Centre (CRLC) berdiri, dua tahun lalu, ia sudah menjadi relawan guru. Bukan hanya untuk anak-anak, juga kelas lebih tinggi dengan murid seusia dengannya, bahkan lebih tua.

    "Awalnya canggung, tetapi lama-lama biasa karena ikatan kami seperti keluarga dan senasib. Bisa saling berbagi," kata Madiha, yang tiba di Indonesia tiga tahun lalu.

    Saling berbagi penting untuknya karena sebagai pengungsi ada saja masalah.

    Kangen kampung halaman, murung karena bosan tak ada kegiatan, atau ketularan stres orangtua yang tak sabar menunggu penempatan di negara tujuan.

    "Kalau ada yang ditolak negara tujuan dan harus kembali ke negaranya, saya ikut hilang harapan," kata Madiha, yang bersama keluarganya datang dari Quetta, Pakistan.

    Setelah berharap cemas menunggu kabar sekian lama, lalu mendapat kabar buruk, rasanya seperti langit runtuh.

    Kabar buruk seperti itu membuyarkan harapan pengungsi dan  pencari suaka.

    Padahal, harapan itulah satu-satunya pegangan yang membantu pengungsi dan  pencari suaka yang saat ini jumlahnya sekitar 13.700 orang di Indonesia, bertahan hidup.

    "Saya masih punya harapan. Kebahagiaan ada dalam diri kita. Kebahagiaan bisa ditemukan di mana pun kita berada," kata Madiha.

    Sebelum ada CRLC, dara yang ingin tinggal di Australia itu merasa tertekan berdiam di tempat pengungsian tanpa kegiatan. Sering menangis karena kangen kampung halaman.

    Namun, dengan mengajar empat hari seminggu, dari pagi sampai siang, kini tak ada waktu untuk bersedih.

    Sedih dan kangen juga dirasakan Muhammad Javed (12), yang baru tujuh bulan di Indonesia. Beruntung ada sanggar belajar ini sehingga dia punya banyak teman.

    Dia berharap jam sekolah bisa lebih lama karena di rumah pengungsian tak ada kegiatan lain selain menonton televisi. Kadang-kadang dia bermain sepak bola dengan teman sesanggar.

    "Di mana saja saya senang. Yang penting aman. Tak seperti di rumah saya dulu, setiap hari ada pembunuhan. Di sini aman, tetapi tidak ada masa depan," ujarnya.

    Jika suatu saat keluarganya tak bisa hidup di negara tujuan, Javed tak keberatan tinggal di Indonesia. Tetapi, hal itu tidak mungkin karena, kata Madiha, pengungsi tidak boleh sekolah dan bekerja di Indonesia.

    Sebagai pengungsi, mereka juga tergantung dan menjadi beban keluarga mereka di negara lain.

    "Kami selalu dikirimi uang oleh keluarga. Tak enak jadi beban orang lain terus," kata Madiha, yang sudah menulis buku tentang perjalanannya dari Pakistan ke Indonesia dan ingin diterbitkan itu.

    Iuran komunitas

    Sebelum ada sanggar belajar, anak-anak hampir tak punya kegiatan. Bersekolah pun tak mudah karena kendala bahasa.

    Padahal, Pemerintah RI mengizinkan mereka sekolah di sekolah negeri. Mereka juga bisa masuk sekolah berbahasa Inggris meski biayanya mencapai 1.800 dollar AS per semester.

    Kepala Perwakilan Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) Thomas Vargas mengapresiasi Indonesia yang memperbolehkan pengungsi anak belajar di sekolah negeri meski terkendala bahasa.

    Untuk itu, UNHCR bersama lembaga lain memberikan kursus bahasa Indonesia di rumah perlindungan yang dikelola UNHCR dan Church World Service.

    Selain bahasa, kendala lain adalah orangtua enggan menyekolahkan anak atau belajar bahasa Indonesia karena masih yakin tidak akan tinggal lama di negeri ini.

    Padahal, Vargas khawatir pengungsi harus tinggal lebih lama dari harapan. "Dengan krisis global pengungsi sekarang, mereka akan lama di sini," ujarnya.

    Karena gelisah melihat anak-anak tak bersekolah, dua pengungsi Liaquat Changezi dan Asad Shadan berembuk dengan komunitas pengungsi dan masyarakat setempat untuk membuka sekolah.

    Karena pengungsi tidak boleh membuka sekolah, dibukalah sanggar belajar ini pada Agustus 2014.

    Dengan modal awal patungan per keluarga, Rp 300.000 dan sumbangan dana warga Australia, disewalah rumah enam ruangan seharga Rp 50 juta per tahun.

    Sisa uang dibelikan perlengkapan sekolah. Karena dana terbatas, 13 guru tak ada yang dibayar.

    Biaya operasional sanggar setiap bulan sekitar Rp 8 juta untuk sewa rumah, alat belajar, listrik, dan internet.

    "Uang sekolahnya Rp 20.000 per bulan. Kadang kami minta bantuan kepada teman atau saudara di Indonesia dan negara lain. Kami terima donasi dari mana saja," kata Changezi, "kepala sekolah" CRLC yang telah lima tahun tinggal di Indonesia.

    Untuk memenuhi kebutuhan sanggar, kata Shadan, koordinator CRLC, mereka mencari dana dengan crowdfunding melalui Facebook.  Hingga dua pekan lalu, jumlahnya baru 850 dollar AS.

    Awalnya, hanya 18 anak yang ikut belajar dengan lima guru. Sekarang sudah ada 110 anak. Karena minat makin tinggi, sampai ada daftar antrean peminat masuk sanggar.

    Kini, di Bogor, sudah dibuka empat sanggar belajar.

    "Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ini sanggar nonpolitik, nonagama, dan nonprofit," kata Changezi, yang dulu berprofesi sebagai produser dan aktor drama TV di Pakistan itu.

    Sanggar ini juga membuka kursus bahasa Inggris selama 90 menit lima kali satu minggu khusus bagi perempuan usia 18 tahun ke atas. Agar tak bosan, banyak kegiatan di sanggar, seperti menyanyi, drama, dan sepak bola.

    "Kami selalu ingatkan mereka untuk tetap punya harapan dan bersabar," kata Shadan.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Menemukan Kebahagiaan Lewat Harapan Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top