728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Diplomasi Kuliner

    Diplomasi Rempeyek, Cerita di Balik Camilan Kesukaan Tony Abbott

    Rempeyek kacang, menu pelengkap andalan yang kerap disajikan di Wisma Indonesia, kediaman resmi Duta Besar Indonesia untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema, di Canberra, Australia, saat menjamu tamu negara.

    CANBERRA - Kriuk kriuk… Renyahnya rempeyek kerap menjadi pelengkap menu makanan utama masyarakat Indonesia di atas meja makan. Adonan tepung beras dan air yang diberi bumbu itu biasanya dicampur dengan kacang tanah atau ebi lalu digoreng dengan bentuk lonjong dan tipis.

    Rasanya yang nikmat dan renyah lalu menjadikan menu ini kerap dibawa oleh Nino Nadjib Riphat, istri dari Duta Besar RI untuk Australia Nadjib Riphat Kesoema, ke atas meja makan saat menjamu tamu-tamu negara ketika mereka ditugaskan, mulai dari Norwegia, Vatikan, Belgia, hingga Australia.

    Di Australia, Nino kerap menyajikan rempeyek kacang di atas meja makan saat jamuan resmi. Bahkan, para pejabat dan tokoh Negara Kanguru itu lalu kepincut pada rempeyek kacang. Salah satunya adalah mantan Perdana Menteri Australia Tony Abbott.

    Nino bercerita, kala itu, untuk pertama kalinya Abbott berkunjung ke Wisma Indonesia, rumah dinas Dubes RI untuk Australia di Canberra. Abbott masih dalam masa kampanye untuk pemilu.

    “Waktu itu masa-masa pemilihan dan beliau waktu itu bilang, ‘Saya dari pagi belum makan’. Waktu itu saya sajikan makanan dan ada rempeyek. Dia lalu makan dan tiba-tiba tanya, ‘Ada lagi enggak (rempeyeknya), saya boleh minta lagi enggak? Akhirnya dia habiskan (rempeyek) satu wadah besar,” kata Nino ketika ditemui di kediamannya pada awal Juni 2016.

    Setelah itu, lanjut Nino, setiap kali berkunjung ke Wisma Indonesia, Abbott kerap meninggalkan pesan yang sama kepada Nadjib.

    “Dia bilang, ‘Bilang sama istri kamu, saya ingin peanut cracker yang waktu itu dibuat’. Jadi dia memang suka sekali. Kalau dia datang ke sini, dia pasti cari rempeyek,” ungkap Nino sambil tersenyum.

    Nino mengatakan, memang dia kerap menyajikan menu kerupuk atau keripik yang berbeda, kadang rempeyek yang disajikan juga bervariasi, dari yang berisi kacang tanah, udang hingga ikan teri. Namun rempeyek kacang dengan campuran daun jeruk yang dirajang paling sering disajikan.

    Meski dalam budaya orang asing, kerupuk atau keripik jarang dinikmati bersama makan besar, Nino menilai orang asing menyukainya. Bersama juru masak andalannya, dia lalu mencoba memadukan menu pelengkap itu dengan makanan utama yang disajikan agar pas dengan lidah orang asing.

    Tak hanya bereksperimen soal rasa, Nino dan juru masak kedutaan juga terus belajar menggoreng rempeyek dengan baik sehingga bentuk serta ketebalannya sedap dipandang.

    “Ini seperti sebuah seni. Jadi kita tidak hanya menyajikan kerupuk tetapi bisa menjadi sesuatu yang berarti,” ucapnya.

    Diplomasi meja makan
    Dalam urusan diplomasi, meja makan tidak hanya sekadar tempat untuk menyajikan makanan dan minuman untuk menjamu para tamu. Segala interaksi di meja makan, suka atau tidak suka, bisa sangat menentukan keputusan penting yang memengaruhi kepentingan hidup rakyat dari dua negara.

    Di meja makan, kekerasan hati bisa luruh, ketegangan antara dua negara bisa reda. Hidangan bisa jadi alat yang sangat efektif untuk menjembatani jarak batin yang jauh saat konflik terjadi.

    Oleh karena itu, Nino tidak pernah main-main dalam menyajikan hidangan, mulai dari menu pembuka hingga penutup sesuai dengan etika jamuan makan internasional.

    “Pertama, kita harus selalu merasa senang untuk menyiapkannya karena hidangan yang akan kita sajikan adalah bagian dari representasi negara kita. Saya memang harus merasa bahwa apa yang saya sajikan betul-betul serius dan ingin memikat hati, baik dalam penampilan maupun rasa. Bagi masyarakat asing, makanan Indonesia itu sesuatu yang unik. Mereka sudah tahu makanan negara lain tetapi (makanan dari) Indonesia agak berbeda, baik dari penampilan maupun rasa,” tuturnya.

    Nino mengaku memelajari berbagai resep masakan Indonesia, baik yang tertulis maupun yang didapat dari sumber lisan, lalu mendiskusikan dengan juru masak kedutaan yang bertugas di Wisma Indonesia.

    “Sejak penempatan pertama, kami memang belajar memasak. Orang tidak akan melihat latar belakang saya, apakah saya ini dosen atau psikolog, tetapi mereka menilai apakah saya bisa memasak atau tidak,” ungkapnya.

    Setelah memelajari kekhasan resep masakan Indonesia, dia dan juru masak harus menyesuaikan rasa dengan lidah orang asing yang tidak terlalu cocok dengan cita rasa bumbu yang terlalu pekat atau terlalu pedas.

     “Bagaimana supaya mereka terarik pada soto dari Indonesia, kita coba memperkenalkan rempah-rempah yang ada di dalamnya tetapi bukan dengan cara membuat mereka jera apakah rasanya terlalu kuat, atau terlalu pedas, asam dan asin, tetapi ada yang sedikit dikurangi disesuaikan dengan selera internasional, tetapi tetap berbeda dengan makanan-makanan yang didapat dari negara tetangga kita,” tuturnya.

    Begitu pula ketika menyajikan sate. Sembari memperkenalkan berbagai macam sate dari daerah di Nusantara, Nino dan juru masak harus memutar otak agar tamunya paham sate dari Indonesia berbeda dengan sate yang juga disajikan oleh perwakilan negara lain.

    Edukasi semacam ini diperlukan agar para tamunya tidak hanya makan, tetapi mengenal sisi lain dari makanan Indonesia.

    Makanan hadir sebagai bagian budaya masyarakat Indonesia yang unik dari setiap daerah, mulai dari bagaimana bumbu atau rempah membuat Portugis dan Belanda tertarik datang ke Nusantara pada masa lampau hingga makna gerabah dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

    “Makanan bukan hanya sekadar makanan tetapi mencerminkan budaya dari suatu bangsa. Saya juga selalu mengajak ibu-ibu Indonesia di sini, jangan malu menjadi bangsa Indonesia karena kita dibekali begitu banyak latar belakang budaya yang bisa digali dan kita bisa tunjukkan,” tuturnya.

    Sejauh ini, lanjut Nino, respons para tamu mancanegara terhadap makanan Indonesia dan cerita di belakangnya sangat baik.

    “Mereka betul-betul suka dan mereka merasa ini unik. Mereka senang sekali. Setiap kali kami mengundang orang asing, mereka makan dengan lahap dan setiap Indonesia mengadakan resepsi, makanan selalu yang ditunggu-tunggu,” ungkap Nino.

    Pengalamannya ini lalu membawanya ditunjuk menjadi salah satu dari istri duta besar berbagai negara yang menyumbangkan tulisan resep dalam buku bertajuk "18 Ambassadrices Vous Recoivent a Bruxelles". Dalam buku itu, Nino mengusung sejumlah resep, seperti soto ayam madura, nasi kuning nusantara dan redang daging serta sarikaya.

    Lalu apa saja menu andalan Nino lainnya yang kerap disajikan dalam menjamu tamu negara?

    “Untuk resepsi pasti ada sate, udang goreng, rempah, kue-kue khas Indonesia, gado-gado atau pecel atau selada padang, tetapi kita sajikan kecil-kecil di dalam tempat. Jadi mereka bisa makan sekali kunyah tetapi tetap bisa merasakan ini berbeda, ini bukan salad biasa, ini salad Indonesia. Kemudian nasi goreng, mie goreng, mereka suka sekali,” tambahnya.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Diplomasi Kuliner Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top