728x90 AdSpace

Saat Kau butuhkan tetesan air 'tuk segarkan relung jiwamu yang mulai mengering...

  • Latest News

    Tan Malaka

    Asal usul nama Tan Malaka, pahlawan bangsa yang dilupakan

    Ibrahim dibesarkan di lingkungan keluarga Islamis. Ia lahir dan tinggal bersama kedua orang tua serta seorang adik laki-lakinya di Suliki, Sumatera Barat.

    Ayahnya bernama HM Rasad dan ibunya Rangkayo Sinah. Sang ayah bekerja sebagai pegawai pertanian sementara ibunya merupakan orang yang disegani di desanya karena berasal dari keluarga terpandang.

    Ibrahim dibesarkan dalam kultur Islam. Belajar mengaji menjadi kegiatan wajibnya sehari-hari.

    Saat berusia 16 tahun, desakan terhadapnya datang dari orang tua dan warga kampungnya. Ia diminta menerima dua tawaran yakni diberi gelar Datuk Tan Malaka dan ditunangkan dengan gadis yang telah dipilihkan oleh keluarga.

    Namun, Ibrahim menjawab secara diplomatis terhadap dua permintaan itu. Ia mengusulkan hanya menerima salah satu saja dari dua tawaran itu. Jika tawaran yang pertama diterima, maka tawaran yang kedua harus dibatalkan, begitu juga sebaliknya.

    Dikutip dari 'Tan Malaka: Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' Karya Masykur Arif Rahman, keberatan dan usul dari Ibrahim dikabulkan oleh keluarganya. Setelah melakukan pertimbangan, keluarga lantas lebih memilih memberikan gelar Datuk Tan Malaka kepada Ibrahim ketimbang menjodohkannya.

    Bagi keluarga Ibrahim, gelar lebih penting ketimbang perjodohan. Sejak saat itu, Ibrahim lebih dikenal sebagai Tan Malaka. Namun demikian, Tan Malaka tak pernah menggunakan gelar Datuk di depan namanya.

    Keluarganya mungkin tak pernah menyangka nama Tan Malaka di kemudian hari menjadi begitu terkenal di dalam negeri maupun di luar negeri. Di dalam negeri Tan Malaka dikenal sebagai pemikir dan pejuang kemerdekaan Indonesia.

    Di luar negeri, Tan Malaka dikenal sebagai tokoh komunis asal Indonesia dan menduduki posisi ketua Komunis Internasional (Komintern) wilayah Asia tenggara. Namun sayang, meski memiliki jasa besar bagi perjuangan kemerdekaan dan revolusi Indonesia, nama Tan Malaka nyaris tak dimunculkan dalam sejarah perjalanan bangsa. Tan Malaka menjadi pahlawan yang dilupakan bangsanya sendiri.

    Bulan Tan Malaka

    Nama Ibrahim Datuk Tan Malaka mungkin tak setenar Bung Karno, Bung Hatta dan sederet pahlawan lainnya. Namun, pria kelahiran Suliki, Sumatera Barat, 1894 itu memiliki jasa besar bagi perjuangan kemerdekaan dan revolusi Indonesia.

    Tan Malaka dibuang Belanda pada 1922 karena pemikiran dan perjuangannya dinilai membahayakan negeri kolonial itu. Namun, diusir dari negerinya sendiri tak membuat Tan Malaka justru berkecil hati dan berhenti memperjuangkan idealismenya.

    Dari Belanda dia memulai perjalanan panjangnya ke negara-negara lain seperti Jerman, Rusia, China, Thailand, Filiphina dan negara lainnya. Kecerdasan dan sikap kritisnya membuat Tan Malaka diangkat sebagai ketua Komunis Internasional, atau Komintern yakni organisasi komunis revolusioner internasional.

    Saat itu, Tan Malaka bertanggungjawab atas pembentukan partai komunis di Asia Tenggara. Meski menjabat sebagai ketua Komintern, Tan Malaka tetap memikirkan perjuangan kemerdekaan Indonesia.

    Tan Malaka mensarikan pemikirannya mengenai perjuangan menuju Indonesia merdeka dalam berbagai artikel dan buku yang kemudian dibaca dan dijadikan rujukan perjuangan para tokoh dan aktivis pergerakan kemerdekaan tanah air. Sebut saja misalnya 'Naar de Republiek Indonesia' (Menuju Republik Indonesia) yang ditulisnya pada 1925 dan 'Aksi Massa' pada 1926.

    Kepulangannya ke tanah air setelah Belanda hengkang dan Jepang berkuasa pada 1942, rupanya tak sebaik yang diharapkannya. Pasca-proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Tan Malaka justru bersilang pendapat dengan Soekarno , Hatta, Sjahrier, dan Amir Sjarifudin. Tan Malaka tak sepakat dengan jalan perundingan yang dilakukan Soekarno dkk terhadap Belanda untuk meraih kemerdekaan penuh. Bagi Tan kemerdekaan harus diraih 100 persen melalui perjuangan atau kalau perlu perang. Sebab, penjajah tak akan pernah mau memberi kemerdekaan kepada negara yang dijajahnya.

    Soekarno lantas memenjarakan Tan bersama para loyalisnya pada 1946 tanpa pengadilan dan baru dibebaskan pada 1948. Setelah dibebaskan, Tan tetap mengritik Soekarno dkk yang tetap berunding dengan Belanda. Dia bahkan mengritik pedas Soekarno - Hatta yang menurutnya rela menyerahkan diri ke Belanda saat agresi militer ke II. Tan juga mengritik TNI wilayah Jawa Timur yang tak mau berperang melawan Belanda.

    Tan Malaka akhirnya tewas ditembak pasukan Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya, pada 21 Februari 1949 di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Meski memiliki jasa besar, nama Tan tak setenar pendiri bangsa lainnya.

    Padahal, Tan Malaka merupakan orang yang membangkitkan gairah pergerakan kemerdekaan Indonesia di eranya. Bung Karno menjulukinya sebagai orang yang mahir dalam revolusi. Moh Yamin menjulukinya sebagai 'Bapak Republik Indonesia.' Bung Karno juga mengakui banyak belajar kepada Tan Malaka .


    Nakalnya Tan Malaka kecil, dipukul sapu sampai diputar pusarnya

    Peran Ibrahim Datuk Tan Malaka dalam perjuangan kemerdekaan dan revolusi Indonesia tak dapat disangsikan lagi. Pria yang kenyang keluar masuk penjara di luar negeri dan tanah air ini bahkan menjadi legenda bagi para tokoh pergerakan kemerdekaan atas keberanian dan pemikirannya.

    Layaknya manusia lain, Tan Malaka juga memiliki kisah masa kecil. Saat masih kecil, pria kelahiran Suliki, Sumatera Barat, 1894 itu dikenal sebagai anak yang nakal.

    Tan Malaka suka berkelahi, terutama ketika ada perkelahian antar-kampung atau yang kini sering disebut tawuran. Di antara teman-temannya, Tan Malaka dianggap sebagai seorang jagoan. Ia memiliki jiwa yang tak kenal takut dan pantang menyerah.

    Suatu waktu, Tan Malaka melayani tantangan dari temannya untuk berenang di sebuah sungai. Padahal saat itu, ia masih terlalu lemah untuk melayani tantangan temannya yang usianya sudah senior itu.

    Apalagi saat itu arus sungai sangat deras dan bergelombang. Alhasil, Tan Malaka kecil pingsan di tengah sungai. Untungnya, teman-temannya yang usianya lebih tua di atasnya bisa menyelamatkan dan membawanya ke tepian.

    Tan Malaka kemudian dibawa teman-temannya pulang dan baru sadar ketika dipukul oleh ibunya yang bernama Rangkayo Sinah dengan sapu lidi. Tak hanya dari ibunya, Tan Malaka juga kerap mendapat hukuman dari gurunya karena kenakalannya.

    Dikutip dari 'Tan Malaka; Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' karya Masykur Arif Rahman, hukuman yang kerap diberikan oleh ibu dan guru kepada Tan Malaka antara lain dipukul dengan sapu lidi, dijemur di pinggir jalan sambil menggigit alat yang biasa digigit kuda agar malu dilihat orang, dimasukkan ke kandang ayam, hingga diputar pusarnya. Hukuman terakhir itu merupakan hukuman yang paling ditakuti oleh Tan Malaka kecil.

    Saking seringnya mendapat hukuman, Tan Malaka sampai-sampai heran. Sebab, tak hanya dia yang nakal dan berbuat salah. Keheranan ini bahkan dibawanya hingga dewasa.

    "Sampai kini saya masih merasa heran mengapa justru sayalah yang harus menjadi korban hukuman itu?" kata Tan Malaka dalam autobiografinya.

    Sejak kecil Tan Malaka memang pemberani, keras kepala, dan teguh pada pendirian. Meski nakal, Tan Malaka kecil juga terkenal sopan, jujur, dan punya prinsip.

    Tan Malaka juga terkenal memiliki sifat terus terang, lurus, sedikit pemberang, berkemauan keras, dan seorang yang memiliki solidaritas tinggi. Tak hanya itu, sejak kecil Tan Malaka juga terkenal cerdas sampai-sampai guru-gurunya sangat menyayanginya.

    Karenanya tak heran ketika dewasa Tan Malaka menjadi seorang yang revolusioner, berani melawan ketidakadilan penjajah Belanda, dan memiliki idealisme tanpa kompromi. Tan Malaka tak akan mau kompromi jika menyangkut kebenaran dan keadilan.

    Soal idealisme tanpa kompromi ini, Tan Malaka mencontohkannya dengan keteguhan sikapnya melawan penjajah Belanda dan Jepang.

    "Tuan rumah tidak akan pernah berunding dengan maling yang menjarah rumahnya," demikian Tan Malaka .

    ***

    Tan Malaka wafat ditembak pasukan Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya, pada 21 Februari 1949 di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Meski memiliki jasa besar dalam perjuangan kemerdekaan dan revolusi Indonesia, pahlawan nasional itu nyaris tak dimunculkan dalam sejarah perjalanan bangsa.

    Tan Malaka, Bapak Republik Indonesia yang mahir revolusi

    Ketokohan Tan Malaka di era 1920-an hingga 1940-an tak bisa diragukan. Meski pada 1922, Tan Malaka berada di luar negeri karena dibuang oleh Belanda, namanya tetap berkibar di kalangan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.

    Setelah kembali ke tanah air pada 1942, Tan Malaka tak langsung membuka identitas aslinya. Tan Malaka baru membuka identitasnya kali pertama kepada Soebardjo pasca Proklamasi Kemerdekaan.

    Tan Malaka lantas dipertemukan dengan Soekarno dan Hatta. Setelah itu, Tan Malaka melakukan perjalanan keliling jawa, termasuk ke Surabaya. Saat itu, Surabaya tengah dalam kondisi perang sengit dengan Inggris pada November 1945.

    Kabar keberadaan Tan Malaka di Surabaya tercium oleh media massa. Namun, hanya harian merdeka saja yang saat itu yakin memberitakan keberadaan Tan Malaka di Surabaya.

    Keragu-raguan publik soal telah kembalinya Tan Malaka ke tanah air pun hilang setelah Moh Yamin menulis sebuah artikel panjang di surat kabar Jakarta 'Ra'jat' pada 22 Desember 1945. Yamin memberi judul artikel itu dengan 'Tan Malaka Bapak Republik Indonesia.'

    Artikel Yamin tersebut seakan mematahkan keraguan Tan Malaka untuk tampil di depan publik dalam waktu dekat. Dengan gaya tulisannya yang khas, Yamin mengungkapkan kegembiraannya atas pulangnya sang Patjar Merah ke tanah pertiwi.

    "Di atas lembaran sedjarah Negara Indonesia selama lima boelan ini, maka perdjoeangan Rakjat Moerba mengalami soeatoe kegembiraan jang penoeh dengan kechidmatan sanoebari dan kesjoekoeran hati terima kasih karena kesoenggoeh-soenggoehan telah sampai kepada kepastian chabar jang menggirangkan, bahwa di tengah-tengah njalaan api Revolusi Proletariat Indonesia teroetama di kota Soerabaja tampak tersemboenji ikoet berjoeang dengan Boeroeh dab Pemoeda gagah perwira di bawah kibaran Merah Poetih pandji-pandji kedaoelatan internasional seorang poetera Indonesia jang telah beroemoer kira-kira lima poeloeh tahoen dengan bernama Ibrahim dan memikoel gelar warisan Tan Malacca, Bapak Republik Indonesia," tulis Yamin seperti dikutip dari 'Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia' Jilid 1 Karya Harry A Poeze.

    Dalam artikelnya, Yamin juga menulis Tan Malaka akan ikut serta dalam perjuangan besar Republik Indonesia sesuai yang diinginkannya sejak lama. Yamin bahkan mensejajarkan Tan Malaka dengan Jefferson dan Washington yang telah membangun kemerdekaan Amerika Serikat.

    "Ia (Tan Malaka) pantas menerima segala kehormatan sebagai Bapak Republik Indonesia, seperti telah diramalkannya di dalam risalahnya tahun 1924," kata Yamin.

    Tak berbeda dengan Yamin, Presiden Soekarno juga memiliki rasa kagum terhadap Tan Malaka. Bung Karno bahkan menyebut Tan Malaka sebagai 'orang yang mahir dalam revolusi.

    Soekarno mengenal risalah-risalah dan pemikiran Tan Malaka sejak tahun 1920-an. Dari 'Naar de Republiek Indonesia' sampai 'Massa Actie' telah dilahap habis oleh Soekarno untuk dipelajari. Terutama 'Massa Actie' sangat berpengaruh kepada pemikiran politik Soekarno.

    Bahkan pada 1931, Soekarno diadili pemerintah Belanda karena dituduh menghasut pemberontakan. Saat itu, dalam vonis sidang berkali-kali disebut 'Massa Actie' merupakan salah satu referensi utama Soekarno dalam pemikiran.

    Namun sayang, Tan Malaka dan Soekarno akhirnya berbeda jalan. Tan Malaka tak suka dengan jalan diplomasi dan perundingan yang dilakukan Soekarno terhadap penjajah Belanda. Sebab, menurut Tan Malaka, kemerdekaan harus diraih 100 persen dengan jalan diperjuangkan bahkan jika perlu lewat perang, bukan lewat perundingan.

    Perundingan baru bisa dilakukan jika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia 100 persen dan menarik pasukannya dari wilayah Indonesia. Tan Malaka menyatakan, tak ada penjajah yang mau memberi kemerdekaan kepada wilayah yang dijajahnya.

    "Tuan rumah tak akan berunding dengan maling yang merampok rumahnya," demikian prinsip Tan Malaka.

    Perjuangan Tan Malaka, Che Guevara dari Indonesia

    "Hasta la victoria, siempre!"

    "Maju terus menuju kemenangan!" kata-kata perpisahan itu ditulis Ernesto 'Che' Guevara tahun 1965. Ditulis untuk sahabatnya Fidel Castro .

    Che memilih membantu gerilyawan di Afrika dan Amerika Selatan ketimbang menjadi menteri dalam pemerintahan di Kuba.

    Semua orang di dunia mengenal sosoknya. Dengan cambang, mata tajam dan baret hitam berbintang merah. Che adalah simbol perlawanan kaum revolusioner pada kapitalisme dan rezim penguasa.

    Kisah hidup Che Guevara nyaris serupa dengan Tan Malaka . Tan adalah pahlawan besar. Sayangnya justru di Indonesia nama Tan Malaka seolah tak dikenal.

    "Tan Malaka sama seperti Che Guevara , mempelajari kisah mereka berdua penuh dengan romantisme perjuangan," kata Harry A Poeze, peneliti Belanda yang menghabiskan hidupnya dengan meneliti Tan Malaka .

    Poeze menjelaskan hal itu saat mengunjungi kami pekan lalu.

    Tan Malaka dibuang dari Indonesia karena dianggap membahayakan pemerintahan kolonial Belanda. Tulisan-tulisan Tan dipakai bahan diskusi tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno . Dengan berani Tan menulis 'Naar de Republiek Indonesia' atau Menuju Republik Indonesia tahun 1925 diikuti Massa Actie atau Aksi Massa pada 1926.

    Tan memilih dibuang ke Belanda. Dari sana dia memulai perjalanan keliling dunia. Jerman, Rusia, China, Thailand, Filiphina, Hongkong, dan sejumlah negara lain.

    Tan menggerakan revolusi di beberapa negara yang dikunjunginya. Saat kembali ke Indonesia, Tan kecewa melihat Soekarno dan Sjahrir yang memilih berdiplomasi dengan Belanda yang ingin kembali.

    Buat Tan Malaka merdeka harus 100 persen. Bagaimana berunding dengan penjajah yang menaruh kapal perangnya di perairan Indonesia?

    Maka Tan memilih masuk hutan. Bergerilya daripada berunding dengan Belanda.

    Sama seperti Che Guevara yang juga menolak intervensi Uni Sovyet di Kuba. Dia meninggalkan Kuba lalu bergerilya ke Kongo hingga Bolivia.

    Tan dan Che, sama-sama revolusioner yang gelisah. Nasib keduanya pun berakhir tragis.

    Che meninggal ditembak tentara Bolivia yang memburunya tahun 1967. Tan Malaka pun mati dieksekusi pasukan TNI di bawah pimpinan Letnan Dua Sukotjo 21 Februari 1949.

    Kisah revolusi memang tak seindah dongeng. Seperti kata Poeze.

    "Revolusi memakan anaknya sendiri."

    Kisah warga Belanda terobsesi meneliti Tan Malaka seumur hidup

    Masyarakat Indonesia mungkin tak terlalu akrab dengan nama pahlawan nasional, Ibrahim Datuk Tan Malaka . Padahal, pria kelahiran Suliki, Sumatera Barat, 1894 itu memiliki jasa yang besar bagi revolusi kemerdekaan Indonesia.

    Di era Orde Baru, nama Tan Malaka dihilangkan dari sejarah perjalanan bangsa. Siswa di sekolah tak pernah diajarkan dan dikenalkan pada sosok mantan ketua PKI itu.

    Bahkan buku-buku tentang Tan Malaka dibredel tak boleh beredar. Paham komunis yang dianut oleh Bapak Republik Indonesia itu membuat pemerintahan Presiden Soeharto saat berkuasa alergi.

    Di tengah-tengah rakyat Indonesia dibuat lupa dan tidak tahu soal Tan Malaka , seorang peneliti asal Belanda bernama Harry A Poeze justru tertarik terhadap sosok pria Minang itu. Poeze menceritakan kepada kami soal awal mula dia 'jatuh cinta' kepada sosok Tan Malaka .

    Poeze mengaku pertama kali meneliti Tan Malaka pada 1971. Saat itu, Poeze tengah mengerjakan tugas akhir kuliah atau skripsi. Dia lantas memilih Tan Malaka sebagai skripsinya.

    "Saya pertama kali meneliti Tan Malaka tahun 1971. Waktu itu saya masih mahasiswa harus menulis skripsi di Amsterdam," kata Poeze, Jalan Tebet Barat IV, Jakarta Selatan, Rabu (29/1).

    Awalnya, Poeze tertarik kepada sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda, khususnya gerakan perlawanan dari kaum kiri. Poeze lantas membaca berbagai buku sejarah yang berisi perlawanan dari para tokoh kiri Indonesia.

    "Dan saya baca Tan Malaka tapi banyak riwayatnya yang belum terungkap," katanya.

    Dari situ Poeze lantas memantapkan niatnya untuk tak berhenti meneliti sosok, kiprah dan perjuangan Tan Malaka . Setelah bekerja, di Volkenkunde (KITLV), lembaga penelitian yang mempelajari kondisi berbagai daerah bekas koloni Belanda, Poeze tak berhenti melakukan riset tentang Tan Malaka .

    "KITLV bahkan memberikan saya waktu untuk melakukan penelitian tentang Tan Malaka ," katanya.

    Selama puluhan tahun melakukan penelitian, Poeze telah berulang kali keluar masuk Indonesia dan negara-negara yang pernah didatangi oleh Tan Malaka . Penelitiannya itu bukan tanpa halangan. Dia mengaku pernah dipersulit oleh pemerintah Orde Baru.

    Namun, dia akhirnya menggunakan taktik agar mudah masuk ke Indonesia untuk melakukan penelitian. "Waktu itu saya bilang alasan saya datang untuk melakukan penelitian soal revolusi Indonesia. Jadi saya bisa dapat izin masuk ke Indonesia. Kalau saya bilang saya mau meneliti Tan Malaka pasti sulit," katanya.

    Kini setelah 40 tahun meneliti, buku-buku soal perjalanan Tan Malaka yang telah ditulisnya banyak diajukan acuan para anak negeri yang ingin mengetahui perjuangan Tan Malaka . Poeze pun mengakui Tan Malaka adalah sosok yang revolusioner dan jarang ditemukan.

    "Tan Malaka punya pemikiran asli, misalnya Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika). (Madilog ditulis Tan Malaka) Saat dia dalam keadaan sulit, dia tak punya sumber, tapi dia berhasil membuat buku," katanya.

    Ketimbang Soekarno, Tan Malaka lebih dulu cetuskan Berdikari

    Ketua LPPM Tan Malaka, Asral Datuk Putih mengatakan pemikiran pahlawan nasional, Tan Malaka banyak dijadikan rujukan para tokoh Indonesia lainnya. Salah satunya pemikiran Presiden Soekarno, yang terkenal dengan berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) yakni sebuah pemikiran anti ketergantungan kepada pihak asing.

    "Tan Malaka sejak awal kemerdekaan sudah mencanangkan. Bung Karno baru mencanangkannya tahun 1960-an," ujar Asral di kediaman keluarga Tan Malaka, Jalan Keuangan I, Jakarta Selatan.

    Asral menjelaskan, sayangnya pemikiran Tan Malaka terpinggirkan oleh kepentingan pemerintahan saat itu.

    "Justru pemerintahan waktu itu malah mengeluarkan maklumat nomor 1 November dan mengembalikan seluruh modal asing dan malah menganjurkan mendirikan partai politik supaya demokrasi teruji," paparnya.

    Tiga bulan setelah Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Tepatnya pada November 45, Hatta malah menyetujui pembuatan dan pendirian partai politik. Saat itu, Tan Malaka tidak setuju karena waktu itu Indonesia butuh persatuan untuk melawan kedatangan pasukan sekutu yang dipimpin Inggris.

    Saat itu, Inggris datang ke Indonesia untuk melucuti tentara Jepang, cuma masalahnya Inggris ditumpangi belanda. Tan Malaka sudah mewanti-wanti akan hal ini.

    Tan tak sepakat berdiplomasi dengan kehadiran tentara asing di Indonesia. Dia mencetuskan Indonesia Merdeka 100 persen.

    'Negara berutang pada Tan Malaka'

    Tan Malaka merupakan tokoh yang memiliki peranan penting dan berjasa besar dalam perjalanan revolusi Indonesia. Namun, hingga kini belum ada kepastian soal di mana Bapak Republik Indonesia itu dimakamkan.

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti sekaligus penulis buku Tan Malaka , Harry Poeze, Tan Malaka tewas ditembak pasukan Letnan Dua Soekotjo dari Batalyon Sikatan bagian Divisi Brawijaya, pada 21 Februari 1949 di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Berdasarkan hasil penelitiannya, pria asal Belanda itu yakin Tan Malaka dimakamkan di desa tersebut.

    Alhasil, pada 12 November 2009 lokasi yang diduga menjadi makam Tan Malaka dibongkar. Tim identifikasi Tan Malaka dibentuk yang terdiri dari dua dokter spesialis forensik Djaja Surya Atmadja Evi Untoro serta dokter gigi ahli odontologi forensik Nurtamy Soedarsono.

    Di kedalaman 2 meter ditemukan kerangka tanpa rambut yang terbaring miring menghadap barat atau kiblat umat Islam. Tinggi jasad itu sekitar 163-165 Cm. Kerangka tersebut dalam kondisi rapuh dan sebagian besar tulang kecil sudah tidak ada lagi.

    Tulang-tulang panjang hanya ada bagian tengahnya saja, rapuh dan bagian sumsumnya berisi akar dan tanah. Berdasarkan pemeriksaan antropologi forensik, jasad itu memiliki riwayat sakit gigi. Jasad itu juga memiliki riwayat pernah ditembak di bagian kaki.

    "Semua ciri-ciri itu sama dengan Tan Malaka ," kata Poeze sesaat sebelum diskusi peluncuran buku 'Tan Malaka: Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia Jilid IV di kantor Soegeng Sarjadi School of Government (SSSG), Wisma Kodel, Jakarta.

    Diketahui, saat perjalanan bersama para pengawalnya dari Desa Belimbing ke arah Selatan untuk mencari kesatuan yang simpati kepadanya, Tan Malaka tengah luka tembak di bagian kaki. Hal itu mengakibatkan Tan Malaka sulit untuk berjalan dan harus dipapah.

    Poeze yakin 100 persen kerangka yang ada di dalam makam itu adalah Tan Malaka . Dia juga membantah jika Tan Malaka ditembak mati bersama para pengawalnya dan dibuang di sungai Brantas.

    "Tidak betul itu," katanya.

    Namun hingga kini tes DNA terhadap kerangka tersebut belum juga membuahkan hasil. Salah satu penyebabnya, DNA kerangka itu telah rusak karena tanah makam mengandung kadar asam tinggi yang merusak DNA.

    Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam menyatakan, meski memiliki jasa besar terhadap Indonesia, Tan Malaka baru dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Soekarno pada 1963. Saat itu, Soekarno memiliki kepentingan agar tak ada lagi perpecahan yang berakibat pada kekuasaannya.

    "Soekarno gak mau lagi ada perpecahan setelah PRRI," katanya.

    Di era Orde Baru, Tan Malaka dihilangkan dari sejarah. Walau gelar pahlawan baginya tak dicabut, di era itu tak ada pelajaran sekolah yang menyebut dan mengajarkan soal Tan Malaka .

    Karena itu, Asvi meminta agar negara meminta maaf dan merehabilitasi nama Tan Malaka . Salah satunya adalah dengan memindahkan kerangka yang berada di Desa Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, itu ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata.

    Meski tes DNA belum membuahkan hasil apakah kerangka tersebut adalah Tan Malaka atau bukan, menurutnya hal itu tak menjadi alasan.

    "Biarkan dokter Djaja terus berusaha bahkan hingga keliling dunia untuk menguji DNA itu, tapi pemindahan makam Tan Malaka harus segera dilakukan, karena sudah empat tahun dari semenjak makam itu dibongkar, sudah terlalu lama," katanya kemarin.

    Perjuangan Tan Malaka bebaskan romusha Banten dari penderitaan

    Ditetapkannya status tersangka terhadap Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menambah daftar hitam perjalanan bangsa ini. Jika dulu para pendiri bangsa tak pernah berpikir memperkaya diri sendiri dan hanya memikirkan Indonesia merdeka lepas dari imperialisme, kini hal sebaliknya justru dilakukan para pejabat negeri.

    Korupsi menjadi salah satu penyebab utama kemiskinan di negeri ini terus abadi. Namun, para petinggi korup seperti tak pernah sadar untuk memikirkan nasib rakyat banyak. Mereka hanya sibuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah untuk pribadi dan golongannya.

    Mereka bahkan tak malu bergaya hidup mewah di tengah kesulitan rakyat. Di Banten, gaya glamor Atut dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana (Wawan), yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, berbanding terbalik dengan kondisi rakyat Banten. Jika Atut punya banyak busana mahal dan Wawan punya banyak mobil mewah, rakyat miskin di Banten justru malah bertambah.

    Berdasarkan Berita Resmi Statistik Provinsi Banten, di website banten.bps.go.id, jumlah penduduk miskin di Banten pada Maret 2013 mencapai 626.243 orang (5,74 persen), naik dibandingkan dengan September 2012 sebesar 648.254 orang (5,71 persen).

    Sejak era kolonial, kemiskinan dan kesulitan seakan enggan pergi dari rakyat Banten. Pada era kolonial Belanda, rakyat Banten kerap disiksa untuk menuruti kemauan negeri kapitalis itu.

    Selain menderita akibat sistem tanam paksa yang diterapkan pemerintah kolonial, rakyat Banten yang kala itu mayoritas berprofesi sebagai petani menderita dengan tingginya pajak yang dibebankan oleh pemerintah kolonial.

    Belanda melalui penguasa pribumi yang menjadi kaki tangannya saat itu bertindak sewenang-wenang kepada rakyat. Jika rakyat tak mampu membayar pajak, mereka tak segan mengambil paksa harta rakyat.

    Hal itu kemudian memicu sejumlah pemberontakan di Banten. Beberapa di antaranya adalah pemberontakan 1888 yang dilakukan para petani bersama pendekar dan ulama serta pemberontakan PKI pada 1926.

    Peralihan kekuasaan dari Belanda ke Jepang pada 1942 tak berarti pada berakhirnya penderitaan rakyat Banten. Jepang yang kala itu tengah perang dengan pihak sekutu membutuhkan banyak makanan untuk serdadunya dan bahan bakar untuk armada perangnya. Saat itu, Jepang ingin Jawa mandiri memenuhi kebutuhan batu bara untuk kereta lokomotif.

    Sebab, kebutuhan batu bara untuk Jawa dipasok dari Kalimantan dan Sumatera. Sementara, kapal-kapal yang bertugas mengangkut banyak digunakan untuk kepentingan perang Jepang kala itu.

    Jepang yang mendapat laporan soal cadangan batu bara di Bayah, Banten, langsung melakukan ekspansinya. Untuk mengangkut batu bara tersebut, Jepang membangun jalur kereta api dari Saketi hingga Bayah. Pembangunan rel kereta dimulai pada 1943 dan dikerjakan oleh para pekerja paksa (romusha).

    Dikutip dari buku 'Tan Malaka, Gerakan kiri, dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945-Maret 1946, Karya Harry A Poeze, pada tahun yang sama, Juni 1943, Ibrahim Datuk Tan Malaka pindah dari Jakarta ke Bayah, Banten. Di tempat itu, Tan Malaka yang menyamar dengan menggunakan nama Ilyas Hussein bekerja di bagian administrasi sebagai juru tulis para romusha.

    Tan hijrah ke Bayah, karena mata-mata Jepang saat itu mulai mencurigai kegiatan Tan Malaka di Jakarta. Selain itu, kondisi keuangan Tan yang makin menipis membuatnya harus bekerja.

    Sambil bekerja, Tan memberi pendidikan kepada para romusha. Hatinya pedih melihat penderitaan rakyat yang dipaksa bekerja membangun rel kereta dengan upah tidak manusiawi. Bahkan konon kabarnya, upah romusha saat itu hanya cukup untuk membeli sebuah pisang.

    Belum lagi jumlah romusha yang meninggal kala itu amat banyak. Kabarnya, jumlah romusha yang meninggal kala itu mencapai 94 ribu orang bahkan ada yang menyebut 100 ribu orang. Dalam buku 'Tan Malaka, Dari Penjara ke Penjara' Tan bahkan mengaku mendapat cerita soal asal usul nama Saketi yang berarti 100 ribu. Angka tersebut kabarnya mengacu pada banyaknya jumlah romusha yang tewas selama pembuatan jalur kereta Saketi-Bayah.

    Para romusha meninggal karena kelaparan, kerja yang begitu keras, penyakit kudis, malaria, disentri, serta tak adanya obat-obatan. Saat itu, Tan kerap membelikan makanan untuk romusha dengan upahnya sendiri. Dia juga kerap bersuara lantang agar upah para romusha dinaikkan. Namun, upayanya itu sia-sia belaka.

    Dengan bantuan para pemuda, Tan juga mendirikan dapur umum untuk para romusha dan membangun rumah sakit. Di masyarakat, Tan menyalurkan kritiknya kepada Jepang atas penderitaan romusha melalui pertunjukan sandiwara. Dia juga mendirikan tim sepak bola.

    Kegeraman Tan Malaka terhadap Jepang memuncak saat negeri fasis itu berencana mengurangi jatah makan bagi para romusha. Protes tersebut dilakukannya dengan cara berorasi di depan rakyat banyak. Upaya Tan berhasil. Jepang tak jadi mengurangi jatah makan para romusha.

    Sikap kritis Tan Malaka itu kemudian memicu Kempetai (polisi Jepang) curiga. Kempetai lantas sempat mencari tahu identitas asli Tan Malaka yang kala itu menyamar sebagai Ilyas Hussein.

    Kalahnya Jepang pada Perang Dunia II tahun 1945 berakibat pada berhentinya penambangan batu bara di Bayah. Indonesia kemudian merdeka pada 17 Agustus 1945. Sejak saat itu Tan Malaka lebih banyak tinggal di Jakarta.

    Demikianlah kisah Tan Malaka dan romusha di Banten. Sungguh sosok yang pantas menjadi teladan tak seperti para pejabat korup yang hanya bisa mencuri uang rakyat untuk perutnya sendiri.

    Cerita kecerdasan Tan Malaka kecil memikat hati guru Belanda

    Masyarakat Indonesia baru saja memperingati Hari Guru Nasional yang jatuh tiap 25 November. Hari peringatan itu ditetapkan pemerintah untuk mengingatkan kita kepada jasa para pahlawan tanpa tanda jasa itu.

    Guru memang memiliki jasa yang tak ada taranya bagi kita semua. Berkat guru, kita bisa mendapat pendidikan dan menggali bakat yang kita miliki. Berkat guru kita dapat menatap masa depan menjadi lebih baik.

    Bicara soal guru, ada kisah menarik dari Bapak Republik Indonesia, Ibrahim Datuk Tan Malaka . Sewaktu kecil, Tan Malaka dikenal sebagai siswa yang cerdas di sekolahnya. Saking cerdasnya, para guru yang mendidiknya di sekolah pemerintah kelas dua di Suliki menginginkan Tan Malaka kecil untuk melanjutkan sekolahnya ke sekolah yang lebih tinggi, yakni sekolah pemerintah kelas satu di Kweekschool (Sekolah Guru Negeri) di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi), Minang Kabau.

    Para guru Tan Malaka tidak ingin kecerdasan yang dimiliki muridnya itu sia-sia. Mereka kemudian menemui dan membujuk orang tua Tan Malaka agar mau menyekolahkan anaknya ke Sekolah Guru Negeri itu.

    Gayung pun bersambut. Kedua orang tua Tan Malaka mendukung keinginan para guru itu. Berkat kecerdasan yang dimilikinya, Tan Malaka berhasil lulus masuk sekolah itu pada 1908. Padahal jumlah pendaftar mencapai ratusan dan yang diterima hanya puluhan.

    "Tan Malaka masuk ke sekolah itu bersama 76 siswa lainnya. Dari puluhan siswa itu, hanya satu siswa yang berjenis kelamin perempuan dan ia merupakan anak dari salah satu guru pribumi yang mengajar di sana," demikian ditulis dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' karya Masykur Arif Rahman, terbitan Palapa.

    Tan Malaka menempuh studi di sekolah itu selama enam tahun. Kecerdasan yang dimilikinya lagi-lagi membuat guru yang mayoritas berasal dari Belanda sangat tertarik kepadanya, salah satunya adalah Direktur II GH Horensma dan istrinya. Saking sukanya, keduanya bahkan mengangkat Tan Malaka sebagai anak angkat mereka.

    "Mereka memanggil Tan Malaka dengan nama 'Ipie' (panggilan dari Ibrahim."

    Meski Tan Malaka kadang tidak patuh kepada perintah gurunya, Horensma dan guru-guru lainnya tetap menyukai bocah Minang itu. Sebab, meski kadang bandel, Tan Malaka tetap saja cerdas.

    Salah satu contoh kenakalan Tan Malaka adalah lebih suka bermain saat disuruh belajar oleh gurunya. Tan Malaka tidak memerlukan waktu banyak untuk menguasai materi pelajaran yang diberi oleh gurunya. Karenanya, dia memiliki banyak waktu untuk bermain. Dua di antara permainan yang paling digemarinya adalah musik dan sepak bola.

    "Kendati demikian, Horensma tetap menginginkan agar Tan Malaka rajin belajar agar semakin pandai."

    Tan Malaka kemudian lulus dengan memuaskan dari sekolah itu pada 1913. Atas jasa orang tua, Horensma dan orang kampungnya, Tan Malaka kemudian melanjutkan sekolahnya ke Belanda.

    Tan Malaka cerdas tapi 2 kali tak lulus ujian akhir di Belanda

    Tan Malaka berhasil diterima menjadi mahasiswa Rijksweekschool (sekolah pendidikan guru negeri), Haarlem, Belanda, setelah lulus serangkaian tes dan mendapat izin dari Kementerian Negeri Belanda pada 1914. Pada waktu awal, Tan Malaka mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan, masyarakat, iklim, dan makanan di Belanda.

    Namun berkat bantuan Horensma, Tan Malaka akhirnya berhasil menyesuaikan diri dan melewati semua itu. Selama studi di sekolah itu, Tan Malaka tidak menyukai pelajaran yang berbasis pada hafalan. Biasanya materi itu berada pada pelajaran yang membahas soal tumbuh-tumbuhan.

    "Kebencian kepada dunia yang berupa kaji-hafalan yang dipaksakan karena tidak menarik hati, lebih hebat daripada kebencian menghadapi roti keju dan roti keju zonder variasi dari hari ke hari di asrama dulu. Kebencian terhadap roti ini hanya timbul di waktu menghadapinya saja, tetapi kebencian terhadap kaji-hafalan yang dipaksakan adalah terus menerus," kata Tan Malaka dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' karya Masykur Arif Rahman, terbitan Palapa.

    Di Belanda, Tan Malaka tak mau diremehkan oleh orang-orang yang menjajah bangsanya. Dalam setiap kesempatan, Tan Malaka kerap menunjukkan bahwa dirinya lebih baik daripada bangsa Belanda. Salah satunya adalah di bidang sepak bola. Dia selalu berada di garis depan sebagai penyerang saat tengah bermain. Namun sayang Tan Malaka tak pandai menjaga kesehatannya. Jika sudah asyik bermain bola, dia enggan menggunakan jaket tebal saat beristirahat dan kerap telat makan. Alhasil pada Juli 1915, Tan Malaka jatuh sakit dan divonis dokter sakit radang paru-paru.

    Di Belanda, Tan Malaka beberapa kali pindah indekos demi mengirit Rp 50 yang dikirim orang kampungnya. Singkat cerita, Tan Malaka akhirnya lulus ujian akhir sekolah secara tertulis pada 1916. Namun, dia harus mengikuti satu studi lagi untuk mendapat akta guru kepala. Pemilik akta itu akan langsung diangkat resmi menjadi guru oleh pemerintah.

    Namun kondisi kesehatan Tan Malaka saat itu kian memburuk. Dia pun disarankan dokter untuk pulang ke tanah air agar mendapat pengobatan secara intensif. Sebab, dengan Rp 50 sebulan yang digunakan untuk mencukupi semua keperluannya, Tan Malaka tidak dapat maksimal mengecek dan mengobati kesehatannya di Belanda.

    Tan Malaka pun menolak saran dokter. Dia tak mau pulang tanpa hasil. Sebab, dia harus membayar utang-utang yang dimilikinya. Tan Malaka mencari tambahan penghasilan dengan mengajar kursus bahasa melayu kepada warga Belanda. Pada 28 Juni 1918, Tan Malaka mengikuti ujian tertulis untuk akta guru kepala dan mendapat hasil yang menggembirakan. Namun dia gagal mengikuti ujian lisan. Tan Malaka sedih atas kegagalannya itu.

    "Pada 27 Juni 1919, ia kembali menempuh ujian tertulis. Di akhir Juli, ia mengikuti ujian lisan tetapi lagi-lagi ia tidak lulus."

    Ada beberapa versi penyebab kegagalan Tan Malaka dalam ujian itu. Versi pertama, kegagalan itu disebabkan karena nilai pengetahuan alam, berhitung dan bahasa Tan Malaka kurang baik. Namun, versi kedua menyatakan kegagalan Tan Malaka dalam ujian itu bukan karena nilai yang kurang baik, melainkan akibat politik imperialisme Belanda saat itu.

    Saat itu, pemerintah Belanda mengeluarkan aturan setiap tahun hanya satu calon saja dari daerah jajahan yang lulus akta kepala. Bayangkan saja begitu banyak orang yang bangsanya dijajah sekolah di Belanda tapi satu tahun hanya dijatah satu orang saja yang lulus.

    Waktu terus berjalan, Tan Malaka yang awalnya ditargetkan oleh orang tua hanya dua hingga tiga tahun lulus sekolah di Belanda dan kembali ke tanah air nyatanya hingga 1919 belum juga kembali. Orangtuanya lantas memberinya ultimatum agar Tan Malaka segera pulang.

    Akhirnya, setelah dua kali gagal, pada November 1919, Tan Malaka berhasil lulus dan mendapatkan ijazahnya yang disebut Hulpactie. Belanda menjadi negeri yang membentuk Tan Malaka . Di negeri ini, Tan Malaka mengenal sosialisme. Dia kerap membaca koran, artikel dan segala macam buku aliran kiri. Belanda menjadi titik awal perjuangan Tan Malaka yang bercita-cita memerdekakan Indonesia dari penjajahan dan menerapkan keadilan bagi semua kelas sesuai sosialisme.

    Kelak, Tan Malaka menjadi pencetus pertama berdirinya Republik Indonesia. Hal itu bahkan dibukukan dalam bukunya yang berjudul 'Naar de Republiek Indonesia' (menuju Republik Indonesia) pada 1925, beberapa tahun sebelum Bung Hatta dan Bung Karno menulis buku soal konsep kemerdekaan Indonesia.

    Pemikiran Tan Malaka kemudian banyak dijadikan acuan Bung Karno dan tokoh pergerakan lainnya untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Bung Karno bahkan memberi gelar Tan Malaka sebagai 'orang yang ahli dalam revolusi', sementara Moh Yamin dalam tulisannya di sebuah artikel koran menyebut Tan Malaka sebagai 'Bapak Republik Indonesia.'

    Kisah Tan Malaka sekolah guru di Belanda hasil utang sekampung

    Sejak kecil, Tan Malaka sudah disukai guru-gurunya karena kecerdasan yang dimilikinya. Di sekolah pemerintah kelas satu di Kweekschool (Sekolah Guru Negeri) di Fort de Kock (sekarang Bukittinggi), Minang Kabau, Tan Malaka bahkan diangkat sebagai anak oleh seorang guru Belanda yang menjabat sebagai Direktur II, GH Horensma dan istrinya.

    Horensma sangat menyayangi Tan Malaka . Dia tak mau kecerdasan Tan Malaka sia-sia karenanya Horensma menginginkan Tan Malaka melanjutkan sekolahnya di Rijksweekschool (sekolah pendidikan guru negeri) yang berada di Belanda. Pada 1913, Horensma dan istri berencana liburan ke Belanda.

    Horensma ingin membawa Tan Malaka . Apalagi di tahun itu Tan Malaka akan mengikuti ujian akhir. Jika lulus tentu saja tak ada halangan untuk Tan Malaka ikut bersamanya ke negeri kicir angin. Sesuai harapan, Tan Malaka berhasil lulus ujian akhir dengan memuaskan.

    Namun ternyata ada sebuah kendala besar yang menjadi hambatan agar Tan Malaka bisa ikut ke Belanda. Kendala itu adalah dana. Diperlukan uang yang tak sedikit untuk pergi dan bersekolah di Belanda. Sementara, orang tua Tan Malaka tak mungkin membiayai sendiri.

    Namun Horensma tak putus asa. Dia memiliki ide sebagai jalan keluar. Dia mengajak Tan Malaka pergi menuju Suliki yang tak lain merupakan tempat kelahiran Tan Malaka . Di Suliki keduanya menemui seorang yang bekerja sebagai kontrolir bernama W Dominicus yang tak lain adalah teman baik Horensma.

    "Setelah melakukan urun rembuk akhirnya semua sepakat untuk mendirikan sebuah yayasan yang bergerak mengumpulkan dana pinjaman sebesar 50 rupiah setiap bulan," demikian ditulis dalam buku 'Tan Malaka, Pahlawan Besar yang Dilupakan Sejarah' karya Masykur Arif Rahman, terbitan Palapa.

    Dana pinjaman itu dikumpulkan untuk membiayai Tan Malaka selama melanjutkan studi di Belanda, yang diprediksi antara dua hingga tiga tahun. Untuk jadi jaminan, orang tua Tan Malaka rela menjaminkan harta benda miliknya. Nama yayasan itu sendiri adalah 'Engkufonds'. Anggotanya terdiri dari para engku di Suliki, para guru di sekolah guru dan para pegawai negeri.

    Tan Malaka berjanji akan mengembalikan utang tersebut setelah selesai studi di Belanda dan kembali di Tanah Air. Setelah semuanya beres, Tan Malaka pun berangkat ke Belanda bersama Horensma dengan menumpang kapal Wilis pada Oktober 1913 dan tiba di negeri kicir angin pada 10 Januari 1914, dan diterima sebagai mahasiswa di Rijksweekschool, yang berlokasi di Haarlem, Belanda.

    Tan Malaka pun menjalani studinya di sekolah itu. Meski awalnya mengalami kesulitan, Tan Malaka akhirnya dapat beradaptasi dengan lingkungan dan pelajaran yang ditempuhnya. Kelak, seluruh utang-utangnya berhasil dilunasinya dari hasil kerja kerasnya.

    Tan Malaka pernah ingin satukan Indonesia-Australia dalam Aslia

    Isu penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan sejumlah pejabat negara lainnya belakangan membuat hubungan kedua negara memanas. Sebagai negeri tetangga yang kerap menjalin kerja sama dengan Indonesia, Australia dinilai tak tahu diri atas penyadapan yang dilakukannya.

    Indonesia dengan Australia memang dua negara yang memiliki kedekatan dari segi letak geografis. Dulu Ibrahim Datuk Tan Malaka , sang Bapak Republik Indonesia, bahkan sempat memiliki konsep penyatuan Australia, Indonesia dan sejumlah negara Asia lainnya dalam Aslia yang merupakan singkatan dari Asia-Australia.

    Ceritanya, pada Juni 1927 Tan Malaka berada di Bangkok dan mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) bersama Subakat dan Jamaludin Tamim. Namun, selang berapa tahun kemudian sesuai dengan suasana dan kondisi dunia yang berubah, PARI lantas menjadi Proletaris Aslia Republik Internasional.

    "Jadi wataknya PARI tetap Proletaris seperti sedia kala dan daerahnya tetap pula internasional seperti dulu, tetapi daerahnya sudah bertambah luas, daerahnya sekarang adalah daerah yang cocok dengan penyelidikan para ahli yang bersandarkan atas ilmu bumi ilmu bangsa serta akhirnya cocok pula dengan perekonomian," kata Tan Malaka dalam 'Manifesto Jakarta' 1945.

    Menurut Tan Malaka , Aslia meliputi wilayah Birma (sekarang Myanmar), Thailand, Annam, Philipina, Semenanjung Malaya, Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Sunda kecil dan Australia Panas. Wilayah Australia Panas yang dimaksud luasnya sekitar 1/3 dari keseluruhan wilayah Australia.

    Tan Malaka yakin di zaman kuno, wilayah Indonesia menyatu dengan Australia. Hal itu berdasarkan penelitian yang dilakukan ilmu pasti Asia. Saat itu, manusia di tanah Indonesia juga berada di tanah Australia hingga proses alam akhirnya memisahkan tanah kedua wilayah itu.

    Meski demikian, Tan Malaka sadar penduduk Australia di eranya mayoritas bukan warga pribumi. Di wilayah Australia bagian selatan yang berudara sejuk, didiami oleh bangsa Eropa yang merupakan keturunan dari orang-orang hukuman Kerajaan Inggris di masa lampau. Tan Malaka menyebut wilayah itu sebagai Australia Putih. Mereka tak bisa hidup di wilayah Australia Panas.

    "Bangsa pindahan ini seperti juga di Amerika membinasakan lebih kurang memusnahkan bangsa Australia Asli dan peperangan lahir dan batin yang tiada henti-hentinya, di seluruh Australia Putih yang luasnya lebih kurang 1/3 pula dari seluruh dataran Australia yang luasnya 3 juta miles persegi itu," kata Tan Malaka .

    Menurut Tan Malaka , seluruh wilayah Aslia memiliki berbagai kesamaan, dua di antaranya adalah kondisi iklim dan musim. Selain itu, alat perkakas, kehidupan ekonomi, sosial, politik, jiwa, perasaan, hasrat serta impian masyarakatnya juga tidak berbeda satu sama lain.

    "Pendek kata seluruh Aslia kini dalam segala cara penghidupan berada dalam keadaan yang bersamaan dan suasana serta keadaan dunia setelah Perang Dunia II ini membutuhkan pergabungan dan kerja sama," kata Bapak Republik Indonesia itu.

    Tan Malaka bercita-cita mewujudkan masyarakat yang tolong menolong dan sama rata dalam semua segi kehidupan di Aslia. Selain itu, Tan Malaka berpandangan, dengan terwujudnya Aslia, akan tercipta kesimbangan di dunia internasional. Hal itu berdasarkan pembagian negara-negara raksasa yang dilakukannya. Dia membagi negara-negara di dunia ini menjadi delapan hingga 10 kelompok raksasa.

    "Amerika Serikat dan Kanada kira-kira mempunyai wilayah 8 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk kira-kira 160 juta jiwa. Tiongkok dengan luas wilayah 4,5 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk 400 juta jiwa, Soviet Rusia mempunyai wilayah lebih kurang 9 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk 200 juta jiwa, penduduk Eropa Barat dengan luas wilayah 3,75 juta miles-persegi dengan jumlah penduduk 350 juta jiwa, dan selanjutnya Hindustan dan Iran (Indo-Iran), Afrika dalam satu atau dua gabungan, Amerika Selatan jika ingin berdiri sendiri," katanya.

    Tan Malaka meyakini dengan adanya delapan hingga 10 gabungan raksasa dunia yang masing-masing dapat berdiri sendiri dalam hal ekonomi itu, satu sama lainnya akan saling menghormati. Sebab, kekuatan besar tidak akan melawan kekuatan besar. Mereka justru akan saling menjaga kedamaian dan saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan mereka.

    Dengan terciptanya kondisi tersebut, Tan Malaka percaya keamanan, kemakmuran dan persatuan dunia akan tercipta. Sebab, perdamaian dunia tidak akan bisa kekal jika hanya ada tiga atau empat negara besar saja. Karena, penjajahan secara langsung maupun tidak langsung (ekonomi) akan terus terjadi terhadap negara kecil. Tentunya, negara kecil terjajah itu tidak akan terima dan mencoba mencari koloni dengan negara besar lainnya yang dapat berujung pada terciptanya permusuhan hingga dapat menimbulkan perang dunia.

    Karena itu, menurut Tan Malaka cuma konsep 'gabungan kelompok raksasa' yang dapat menjamin terciptanya perdamaian di muka bumi.

    "Perhubungan yang semakin hari akan semakin rapat antara manusia dan manusia, bangsa dan bangsa juga dalam politik, ekonomi dan kebudayaan kelak selangkah demi selangkah akan mengadakan Internasionalisme yang berdasarkan keanekaragaman yang bersatu padu (homogen )," katanya.

    Andai konsep tersebut saat itu dapat terealisasi tentunya kasus penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia tak akan terjadi dan kehidupan dunia internasional akan lebih adil.

    Tan Malaka, ditawan sebelum meninggal di tangan bangsa sendiri

    Rasa penasaran itu masih saja berkecamuk. Rasa yang sama mungkin juga dimiliki sejarawan Belanda Harry A Poeze yang menyebutkan Tan Malaka dibunuh di Desa Selopanggung Kecamatan Semen Kabupaten Kediri pada 21 Februari 1949 oleh Brigade Sikatan atas perintah Letnan Dua Sukotjo.

    Rasa penasaran itu berujung ketika harus melangkah menuju wilayah Selopanggung yang berada di kaki Gunung Wilis tempat di mana Tan Melaka harus meregang nyawa. Keputusasaan sempat berkecamuk ketika gagal mendapatkan informasi seperti apa yang disampaikan Harry A Poeze, yang yang juga Direktur KITLV Press (Institut Kerajaan Belanda Untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara) tentang Tan Malaka di Desa Selopanggung.

    Namun berkat kesabaran akhirnya kami bertemu dengan Syamsuri (45) mantan Kepala Desa Selopanggung (1990-1998).

    Atas jasa Syamsuri itulah, kami diajak bertemu dengan Tolu (87) warga Selopanggung yang berada di lembah Gunung Wilis yang berjarak kurang lebih 30 kilometer dari Kota Kediri. Tolu yang sudah agak berkurang pendengarannya itu, kaget ketika penulis datang bertanya tentang rumah kakeknya yang dijadikan tempat persembunyian Brigade S saat agresi Belanda kedua terjadi sekitar tahun 1948.

    Dan lebih kaget lagi ketika disebutkan nama Tan Malaka. Tolu terdiam sejenak untuk mengambil napas, kemudian dia menghisap rokok klobot (rokok ricikan sendiri) dan dinikmati dengan pelan dan kemudian dari mulutnya keluar perintah kepada anak perempuannya. "Nduk gawekno wedang kopi, iki lho enek tamu," katanya singkat. (Anak perempuanku tolong buatkan kopi untuk tamu).

    Setelah kopi dihidangkan, kemudian ia bercerita. "Kala itu saya masih berumur sekitar 10 tahun. Saya tinggal bersama kakek saya, Mbah Yasir namanya. Rumah kakek saya itulah yang ditempati pasukan TRI yang melarikan diri dari kejaran Belanda," katanya sambil menikmati rokoknya.

    Ditambahkan Tolu, dari para anggota TRI tersebut dia masih ingat nama-nama pentolannya. "Mereka adalah priyayi yang berpakaian bagus, berpendidikan, membawa senjata, membawa buku dan juga mesin ketik. Mereka antara lain Letkol Surahmat, Letnan Dua Sukotjo, Soengkono, Sakur, Djojo dan Dayat. Merekalah para komandan yang membawahi kurang lebih 50 pasukan yang saat itu berjuang melawan Belanda," imbuhnya.

    Saat Tolu menyebut nama Soekotjo, Soerahmat,dan juga Soengkono saya pun teringat akan nama itu yakni sama persis dengan riset Harry A Poeze yang menyatakan Tan Malaka ditembak mati tanggal 21 Februari 1949 oleh Brigade S atas perintah Letnan Dua Sukotjo . Eksekusi yang terjadi selepas Agresi Militer Belanda kedua itu didasari surat perintah Panglima Daerah Militer Brawijaya Soengkono dan Komandan Brigade-nya Letkol Soerahmat.

    Hal ini juga diperkuat dalam buku Otobiografi Letkol Soerahmat (Komandan Brigade S, tinggal di Kediri) yang ditulis salah satu putranya Ir Suyudi memang menyebutkan bahwa Brigade Sikatan atau yang lebih dikenal dengan Brigade S adalah yang menembak mati Tan Malaka di Kediri pada 21 Februari 1949.

    Penangkapan hingga penembakan mati Tan Malaka oleh Brigade S atas perintah Petinggi militer di Jawa Timur. Militer menilai seruan Tan Malaka membahayakan stabilitas. Seruan Tan Malaka itu terkait penahanan Bung Karno dan Bung Hatta di Bangka menciptakan kekosongan kepemimpinan serta pernyataan enggannya elite militer bergerilya.

    Mereka pun memerintahkan penangkapan Tan Malaka yang sempat ditahan di Desa Patje Nganjuk dan akhirnya dieksekusi di Selopanggung Kediri. Tentang Tan Malaka sendiri, Tolu saksi sejarah yang masih hidup mengaku antara ingat dan tidak. Untuk mengembalikan memori ingatannya kami mencoba mencoba membukakan gambar wajah Tan Malaka.

    Dari situlah kemudian dia kembali teringat. "Orang ini adalah orang yang menjadi tawanan TRI, dia diamankan khusus. Waktu itu yang menjaga adalah di bawah pengawasan Pak Dayat langsung. Entah bagaimana ceritanya ketika itu setelah ditawan saya mengetahui dia meninggal yakni tepatnya sebelum akhirnya pasukan TRI meninggalkan desa kami sekitar awal tahun 1949," jelasnya.

    Mengenai di mana lokasi tawanan itu meninggal dunia dan kemudian dikuburkan, Tolu terdiam. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian dia keluar rumah dan menunjukkan pohon petai di depan bekas rumah kakeknya Yasir yang kini sudah rata dengan tanah.

    "Di sanalah Tan Malaka hilang, itu yang hanya saya tahu, ini juga saya katakan pada orang Belanda Harry A Poeze yang datang menemui saya tiga belas tahun lalu. Kemudian oleh Harry tempat tersebut disuruh menandai dengan tulisan "Di sinilah Tempat Hilangnya Datuk Ibrahim/Tan Malaka," katanya.

    Sedikit mengingatkan Tan Malaka atau Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka adalah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia dan politisi yang mendirikan Partai Murba. Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

    Dengan perjuangan yang gigih dia dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris. Di usianya yang masih 16 tahun tepatnya tahun 1912, Tan Malaka dikirim ke Belanda. Tahun 1919 dia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru di sebuah perkebunan di Deli. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.

    Tahun 1921, dia pergi ke Semarang dan bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik Saat kongres PKI 24-25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai. Januari 1922 dia ditangkap dan dibuang ke Kupang. Pada Maret 1922 Tan Malaka diusir dari Indonesia dan mengembara ke Berlin, Moskow dan Belanda.

    Anas Urbaningrum, Tan Malaka, dan merdeka 100 persen

    Ada hal menarik setelah Anas Urbaningrum ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada, Jumat pekan lalu. Anas yang kini harus mendekam di balik jeruji besi dihadiahi sebuah buku Tan Malaka 'Merdeka 100 Persen' karya Robertus Robet, dari salah seorang pria bernama Yulianto Wahyudi.

    Pria yang mengaku teman Anas itu datang ke KPK untuk menjenguk Anas. Namun sayang, KPK tak mengizinkannya untuk menemui mantan ketua umum Partai Demokrat itu. Barang-barang yang dibawanya pun tak bisa dititipkan untuk disampaikan ke Anas.

    "Ini surat terbuka dari istrinya Mas Anas. Istrinya minta izin mau ketemu dengan orang tuanya. Kan harus iziin dulu. Saya titip surat nggak bisa. Saya bawa buku nggak bisa dititipkan juga. Ya misalkan KPK seperti itu, kami sebagai keluarga akan menerima. Kan tidak bisa memaksa," katanya di Gedung KPK, Jakarta.

    Namun KPK akhirnya memberi izin keluarga dan teman untuk menjenguk Anas. Di antaranya adalah loyalis Anas, Tri Dianto dan adik Anas, Ana Luthfi. Selain membawakan baju, makanan dan Alquran, Ana juga membawakan buku Tan Malaka untuk Anas. Dia mengaku inisiatif membawa buku Tan Malaka adalah idenya sendiri, bukan karena diminta Anas.

    "Itu buku bacaan wajib para aktivis. Itu bukan permintaannya. Saya yang bawakan," kata Ana.

    Di masa Orde Baru, Anas merupakan aktivis mahasiswa yang cukup tersohor. Dia bahkan sempat menjadi ketua umum Pengurus Besar (PB) Himpunan Mahasiswa (HMI) periode 1997-1999. Kariernya tergolong cemerlang. Dari mulai anggota KPU, anggota DPR sekaligus ketua Fraksi Demokrat DPR, hingga menjadi ketua umum Partai Demokrat pernah disandangnya. Namun, kasus Hambalang membuatnya jatuh dari pencapaiannya itu.

    Atas kicauan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat M Nazaruddin, KPK menelisik dugaan korupsi dalam proyek Hambalang. Alhasil, Anas menjadi salah satu orang yang dijadikan tersangka. Anas diduga menerima gratifikasi atau janji Toyota Harrier dalam proyek tersebut.

    Lain Anas, lain pula Tan Malaka. Pria kelahiran Suliki, Sumatera Barat tahun 1897 itu merupakan tokoh bangsa yang gigih memperjuangkan idealismenya demi kemerdekaan Indonesia dan demi keadilan serta kesetaraan ekonomi rakyat di negeri ini.

    Pria yang dijuluki sebagai 'Bapak Republik Indonesia' oleh Moh Yamin itu dibuang dan tak diperkenankan kembali ke tanah air oleh Belanda pada 1922 karena idealisme dan perjuangannya dinilai membahayakan kedudukan pemerintah kolonial saat itu.

    Alhasil, Tan Malaka menjadi orang buangan dan menjelajahi sejumlah negara-negara di dunia. Dari luar negeri, Tan Malaka tetap berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Pikiran dan ide-ide cemerlangnya, dituliskannya dalam bentuk artikel dan buku yang kemudian menjadi rujukan para aktivis kemerdekaan di Indonesia kala itu.

    Dari Soekarno, Hatta, Sjahrir dan banyak tokoh bangsa lainnya menjadikan buah pikiran Tan Malaka sebagai salah satu rujukan dalam berjuang dan berpikir kala itu. Salah satu buah pikiran Tan Malaka yang paling dikenal adalah soal 'Merdeka 100 Persen'. Dalam tulisannya itu, Tan Malaka membuat tiga percakapan dalam ekonomi-politik.

    Seperti dikutip dari buku 'Tan Malaka: Merdeka 100 Persen' karya Robertus Robet, Tan Malaka menulis dalam format percakapan antara lima orang dari latar belakang sosial dan pendidikan yang berbeda. Di antaranya adalah; Mr Apal (Wakil kaum terpelajar), Si Toke (Wakil pedagang kelas menengah), Si Pacul (Wakil kaum tani), Denmas (Wakil kaum ningrat), dan Si Godam (Wakil buruh besi).

    Kelima tokoh kiasan itu membicarakan seputar kondisi politik, rencana ekonomi berjuang, hingga soal muslihat. Dalam pembicaraan politik dibahas soal makna kemerdekaan dan sebagainya. Inti dalam bagian itu, kemerdekaan haruslah 100 persen tak boleh ditawar-tawar. Sebuah negara harus mandiri menguasai kekayaan alamnya dan mengelola negerinya tanpa ada intervensi asing.

    Sementara, dalam bahasan ekonomi berjuang, dibahas soal perampokan yang dilakukan negara-negara kapitalis terhadap negara lain termasuk Indonesia hingga soal rencana ekonomi yang tepat bagi Indonesia. Dalam bahasan muslihat dibahas soal iklim perjuangan, diplomasi hingga syarat serta taktik berjuang. Buku tersebut menjadi salah satu bacaan wajib para aktivis era itu dan setelahnya.

    Pemikiran 'Merdeka 100 persen' puncaknya disampaikannya untuk menanggapi sikap pemerintahan Presiden Soekarno terhadap Jepang dan Belanda pasca-proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

    Saat itu, Tan Malaka melihat pemerintah yang dipimpin Soekarno hanya menghamba kepada penjajah. Dia melihat pemerintah hanya berharap kedaulatan dan kemerdekaan diberikan oleh penjajah, bukan direbut lewat perang dan perjuangan.

    Begitu pula dengan pemerintahan Perdana Menteri Sjahrier. Dia melihat tokoh sosialis-demokrat itu lembek karena mengutamakan jalan diplomasi dengan Belanda. Alhasil, melalui organisasi Persatuan Perjuangan (PP) yang didirikan pada Januari 1946, Tan Malaka membuat tuntutan agar pemerintah saat itu melaksanakan jalan 'Merdeka 100 Persen'. Namun sayang, ide Tan Malaka itu dinilai pemerintah kala itu terlalu frontal. Tan Malaka dan para pengikutnya seperti Soekarni, Sajoeti Melik dkk lantas ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah karena dinilai membahayakan persatuan dan perjuangan bangsa.

    Demikian kisah Tan Malaka dan Merdeka 100 Persen. Ide brilian dari Bapak Republik itu memang menjadi bacaan wajib para aktivis di negeri ini. Namun tentunya, kisah Tan Malaka dengan Anas jauh berbeda. Tan Malaka dibuang Belanda dan dipenjarakan karena perjuangan Indonesia merdeka dan idealisme tanpa komprominya, sementara Anas ditahan karena kasus dugaan korupsi yang melilitnya.

    'Banyak korupsi, politisi masa kini harus belajar ke Tan Malaka'

    Berita korupsi hampir setiap hari menjadi pemberitaan di media-media tanah air. Para pejabat dan politisi banyak yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ).

    Mereka bahkan malu untuk mengakui kesalahan yang telah diperbuatnya. Pembelaan dan sumpah serapah mereka lakukan hanya agar tak masuk bui.

    Miris, mungkin kata yang paling sopan untuk diungkapkan dalam menyikapi kelakuan para pemangku jabatan negeri itu. Padahal, di era sebelum dan awal kemerdekaan Indonesia, para pejuang dan politisi negeri saat itu rela mengorbankan pemikiran bahkan harta dan jiwanya untuk kepentingan bangsa. Salah satunya adalah Tan Malaka .

    Peneliti sekaligus penulis buku Tan Malaka , Harry A Poeze mengatakan, saat masih hidup Tan Malaka mendedikasikan seluruh hidupnya untuk kepentingan bangsa. Saat itu, Tan Malaka bahkan sampai rela dipenjara dan dibuang oleh Belanda ke luar negeri pada 1922 karena tindakannya dinilai mengancam kepentingan negeri kolonial di Nusantara.

    "Waktu itu Tan Malaka mendirikan sekolah-sekolah rakyat di Semarang, Bandung dan tempat lain. Dia mengajarkan rakyat soal perjuangan, anti-kapitalis, penjajahan dan lainnya. Hal itu tentu membahayakan bagi Belanda," kata Poeze.

    Dari pembuangan di luar negeri, Tan Malaka tetap berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Tan mensarikan pemikirannya melalui artikel dan buku yang kemudian dibaca dan dijadikan rujukan berpikir dan berjuang para pejuang dan politisi tanah air seperti Soekarno , Sjahrir dan lainnya.

    Saat kembali ke Indonesia pada 1942, atau setelah Belanda hengkang dan Jepang berkuasa, Tan Malaka kembali meneruskan perjuangannya untuk rakyat banyak. Namun, saat itu Tan Malaka memiliki perbedaan pemikiran dan cara perjuangan dengan para politisi dan pejuang lainnya seperti Soekarno , Hatta, Sjahrir , Amir Sjarifudin dan lainnya.

    Karenanya, menurut Poeze perbedaan mencolok politisi Indonesia saat ini dengan politisi dan pejuang seperti Tan Malaka adalah soal korupsi. Tan Malaka tak pernah berpikir untuk melakukan korupsi. Yang ada di pikirannya adalah bagaimana memerdekakan Indonesia dari penjajahan dan mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat banyak sesuai paham komunis yang dianutnya.

    Pria kelahiran Suliki, Sumatera Barat, 1894 itu bahkan rela hidup susah tanpa uang demi memperjuangkan cita-citanya memerdekakan Indonesia dan mewujudkan keadilan pemerataan ekonomi bagi rakyat.

    "Saat Tan Malaka gak ada korupsi, sekarang korupsi. Waktu Tan Malaka semua miskin hanya ada cita-cita, bukan uang seperti sekarang," kata peneliti asal Belanda ini.

    Jadi, belajarlah wahai para pejabat negeri dari para pendahulumu.
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 komentar:

    Item Reviewed: Tan Malaka Rating: 5 Reviewed By: Blogger
    Scroll to Top