Liga Primer: Bukan Sekadar Sepakbola
Di sebuah libur musim panas, kami tidak cukup punya uang untuk berlibur ke Indonesia maupun ke negara lain. Bicara punya bicara akhirnya kami sekeluarga memutuskan untuk menyetir keliling Inggris. Tujuan utamanya ke Inggris Utara.
Pertama, kami jarang ke Inggris Utara. Kedua, sekali mendayung sekalianlah mengunjungi stadion sepakbola sebanyak-banyaknya. Klub-klub sepakbola memang lebih banyak berada di Inggris Utara ketimbang di Selatan tempat kami menetap.
Untuk mengirit biaya menginap kami menggelar tenda di lading perkemahan --usaha sampingan industri pertanian-- yang banyak tersedia sepanjang musim panas. Dibanding dengan hotel yang paling murah pun, selisih harganya bisa seperempatnya. Memang harus bongkar pasang tenda setiap kali pindah, tetapi itu tak butuh waktu lebih dari setengah jam dengan model tenda yang sangat ringkas tetapi nyaman.
Lebih menyenangkan lagi, karena segala sesuatunya komunal dari tempat mandi hingga tempat makan, kami terpaksa harus bisa akrab dengan yang lain. Rupanya kami bukan satu-satunya keluarga yang melakukan model perjalanan atau liburan semacam ini.
Sangat mengesankan di malam musim panas yang panjang --tetap saja dingin walau tidak menggigit--, kami berkumpul di tempat terbuka saling bercerita tentang apa yang kami lakukan sepanjang hari, dan apa siapa kami, sambil makan minum bawaan kami sendiri-sendiri. Anak-anak bermain satu sama lain, lepas di lading yang luas hingga jauh malam.
Dan setelah berpindah-pindah ladang perkemahan kami kemudian sadar, bahwa mereka yang memilih bertenda bukan melakukannya karena terkait dengan persoalan harga yang murah seperti kami, tetapi pilihan. Mereka menyukai kegiatan berkemah yang dalam pendapat mereka mendekatkan ikatan keluarga ketimbang menginap dengan model lain. Liburan dengan berkemah membuat semua anggota keluarga harus saling bantu dan melakukan berbagai hal secara bersama-sama.
Dari bincang-bincang dengan mereka kami juga kemudian tahu bahwa nyaris semua dari mereka adalah kelas terdidik dan menengah yang mapan. Dan, dalam pengakuan kebanyakan dari mereka, adalah kalangan kelas menengah generasi baru: suka sepakbola dalam arti sesungguhnya, menjadi pendukung klub, dan fanatik.
Mereka menjadikan stadion sebagai "katedral" yang sebisa mungkin harus dikunjungi dengan rutin. Mereka menjadikan kehidupan klub bagian penting dari kehidupan mereka. Sepakbola adalah hiburan tapi juga sebuah kehidupan yang bermakna. Pengakuan bahwa ada kalangan menengah terdidik yang menjadi penggemar fanatik sepakbola merupakan hal yang baru buat saya.
Anda tahu, lintas afiliasi di Inggris ini tidaklah secair di Indonesia. Segmentasi kelas sangat kaku. Sedemikian kakunya kesadaran kelas sosial itu hingga bisa terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Secara otomatis misalnya, kalangan superkaya dan aristokrasi, akan mengelompok, tinggal di daerah tertentu, dan mengirim anak mereka ke sekolah tertentu pula.
Mereka bergaul di kalangan mereka sendiri. Bahkan topik pembicaraan sehari-hari, logat bicara, pilihan kosa kata bahasa, orientasi pergaulan, pekerjaan, dan jenis olahraga yang mereka mainkan juga khas menunjukkan kelas sosial mereka.
Bahkan pub (tempat minum dan bersosialisasi khas Inggris) juga menunjukkan kelas sosial. Pilihan pub yang menjadi langganan ditentukan kelas sosial ini.
Kalangan menengah akan begitu pula. Lalu kalangan buruh, kalangan bawah, idem ditto.
Bandingkan dengan Indonesia dengan lintas afiliasi yang nyaris alami. (Setidaknya pengalaman saya dulu) sangat biasa kita menemukan orang kaya bergaul (berkehidupan sosial) dengan mereka lebih tidak beruntung karena mungkin beretnis sama, beragama sama, tinggal di kampung yang sama, bersekolah di tempat yang sama, dan banyak sekali alasan lain.
Atau permisalan bisa dibalik dengan sekian macam variasinya. Misal, seseorang yang datang dari etnis tertentu akan dengan mudah bergaul dengan mereka yang datang etnis berbeda karena datang dari kelas sosial yang sama, beragama sama, menempuh pendidikan ditempat yang sama, dan lain sebagainya.
(Mungkin) karena kondisi sosial yang seperti ini, di Indonesia, dan juga negara lain dengan struktur kelas sosialnya yang tidak kaku, dengan mudah sepakbola menjadi olahraga kegemaran setiap kalangan. Tak peduli latar belakang orang yang bersangkutan. Sepakbola adalah sebuah olahraga massal yang mudah dipahami dan dinikmati, ditonton ataupun dimainkan.
Tetapi di Inggris yang konon menjadi awal lahirnya permainan sepakbola seperti yang kita kenal sekarang, persoalannya ternyata tidak sesederhana itu.
Benar di Inggris ini di televisi, radio, dan koran tiada hari tanpa sepakbola. Sepakbola diikuti layaknya "agama". Benar sepakbola menjadi olahraga nasional. Tetapi sejujurnya hanya kalangan bawah, kelas buruh, yang mengikuti dengan demikian.
Kalangan menengah ikut ramai bicara tetapi tidak terlibat layaknya kalangan bawah. Kalangan atas malah bisa dikatakan mengabaikan sama sekali.
Saya banyak bertemu dengan kalangan terdidik menengah Inggris, terutama karena lingkungan kerja, dan ya mereka penggemar sepakbola tetapi juga dengan menjaga jarak dan menyisakan sinisme terhadap permainan itu. Katakanlah peminat pasif. Kalau pas ada di depan mata mereka ikut terlibat, kalau tidak ada mereka juga tidak mencari.
Itulah sebabnya berbeda dengan Eropa atau Amerika Latin yang juga fanatik dengan sepakbolanya, nyaris tidak ada pemain sepakbola di Inggris ini lahir dari kalangan menengah atas. Tidak ada pemain yang datang dari keluarga bangsawan, terdidik, akademisi, pejabat atau semacamnya.
Sampai sekarang di sekolah-sekolah kalangan sosial menengah atas tetap tidak ada kegiatan ekstrakurikuler sepakbola, tetapi kriket dan rugby, atau juga olahraga permainan yang untuk menyebutnya saja lidah sudah kelu dan kedengaran tidak enak di telinga.
Lalu bagaimana ceritanya kelas menengah sekarang menjadi kelompok baru bergabung dengan kelas bawah, atau mungkin malah menggesernya sebagai penggemar fanatik sepakbola?
Para pengamat bola tidak bisa bersepakat mengenai kapan hal ini terjadi. Waktu memang tidak bisa dipilah layaknya kue dipotong dengan pisau. Tetapi hampir semuanya sepakat bahwa kelahiran Liga Primer tahun 1992-lah yang membuat pergeseran itu.
Mungkin saya saja yang belum pernah mendengar atau membaca analisis yang menyebut bahwa Liga Primer adalah sebuah upaya sistematis untuk secara sadar merengkuh kelas menengah menjadi pasar baru sepakbola di Inggris ini. Tetapi saya tak akan kaget kalau memang demikian halnya.
Bukankah sejak awal pendiriannya, Liga Primer disadari sebagai sebuah kegiatan industri dan besar kemungkinan kelas menengahlah salah tujuannya.
Bukan sekadar karena besarnya jumlah kalangan menengah yang tidak kalah dari kalangan bawah, tetapi juga karena potensi keuangan mereka jauh lebih unggul dari kalangan bawah tentunya.
Yang jenial menurut saya adalah bagaimana cara para industriawan (media) sepakbola, dalam hal ini grup media Sky, untuk meruntuhkan stigma kelas di Inggris. Menggebrak sekaligus jitu.
Pertama, kalau kelas menengah enggan datang ke stadion, maka bawalah stadion ke mereka, ke ruang tamu mereka. Sebelum Liga Primer berdiri 22 tahun lalu, tidak ada siaran televisi menyiarkan pertandingan liga.
Namun sejak Liga Primer berdiri kalangan kelas menengah bisa menonton sepakbola di lingkungan yang steril, aman, dan nyaman. Mereka tidak perlu bersentuhan dengan lingkungan kelas di bawah mereka. Atau tidak perlu khawatir disebut turun kelas hanya karena menonton sepakbola. Toh tidak ada yang tahu kalau mereka menjadi penggemar sepakbola.
Langkah ini bak pisau bermata dua tetapi dua-duanya menguntungkan Sky dan Liga Primer. Karena untuk mengakses siaran televisi itu mereka harus membayar, yang berarti pemasukan untuk keduanya. Mata keduanya adalah lembaga media industri bola itu mempunyai alat untuk melakukan persuasi apa saja --pengaruh budaya-- hingga ke jantung keluarga. Karena siaran televisi mereka bukan melulu pertandingan sepakbola tetapi juga segala pernik yang berkaitan dengan sepakbola.
Memanfaatkan media itulah langkah selanjutnya yang dilakukan industriawan sepakbola untuk menghapus stigma kelas sosial dalam sepakbola. Media –bukan sekadar televisi, tapi semua terutama yang satu grup dengan Sky-- dengan sengaja disetir untuk selalu menyoroti lahirnya kelas menengah baru: para pemain bola.
Angan-angan disemai ke massa. Para pemain bola ini digambarkan sebagai sebuah keberhasilan perjuangan hidup kelas bawah. Tetap bagian dari kerumunan kelas bawah tetapi sukses.
Pada saat yang bersamaan kalangan menengah dijejali ide bahwa aspirasi penggemar/pemain sepakbola pada umumnya adalah untuk menjadi seperti mereka. Sepakbola adalah sebuah alat mobilitas vertikal belaka. Yang secara langsung menjembatani sekaligus mengaitkan kehidupan antara kalangan bawah dan menengah.
Sederhananya, apa yang dilakukan para pengelola Liga Primer dan Sky adalah menciptakan satu lintas afiliasi bagi kelas menengah dan bawah. Sepakbola adalah jalannya. Sepakbola wadahnya. Itulah sebabnya kalangan kelas menengah perlahan-lahan mulai menjadi fanatik dengan sepakbola.
Mungkin masih membutuhkan bertahun-tahun lagi untuk agar kedua kelas sosial ini betul-betul lebur dalam sepakbola. Tetapi kenyamanan semakin tercipta dan stigma kelas mulai kabur dan luntur.
Tetapi jangan dianggap lalu langkah para industriawan bola ini kemudian mulia. Karena ketika demografi penggemar sepakbola membesar menjadi lintas kelas, tujuan akhirnya ya cuma satu: dikeruklah uangnya.
Di sebuah libur musim panas, kami tidak cukup punya uang untuk berlibur ke Indonesia maupun ke negara lain. Bicara punya bicara akhirnya kami sekeluarga memutuskan untuk menyetir keliling Inggris. Tujuan utamanya ke Inggris Utara.
Pertama, kami jarang ke Inggris Utara. Kedua, sekali mendayung sekalianlah mengunjungi stadion sepakbola sebanyak-banyaknya. Klub-klub sepakbola memang lebih banyak berada di Inggris Utara ketimbang di Selatan tempat kami menetap.
Untuk mengirit biaya menginap kami menggelar tenda di lading perkemahan --usaha sampingan industri pertanian-- yang banyak tersedia sepanjang musim panas. Dibanding dengan hotel yang paling murah pun, selisih harganya bisa seperempatnya. Memang harus bongkar pasang tenda setiap kali pindah, tetapi itu tak butuh waktu lebih dari setengah jam dengan model tenda yang sangat ringkas tetapi nyaman.
Lebih menyenangkan lagi, karena segala sesuatunya komunal dari tempat mandi hingga tempat makan, kami terpaksa harus bisa akrab dengan yang lain. Rupanya kami bukan satu-satunya keluarga yang melakukan model perjalanan atau liburan semacam ini.
Sangat mengesankan di malam musim panas yang panjang --tetap saja dingin walau tidak menggigit--, kami berkumpul di tempat terbuka saling bercerita tentang apa yang kami lakukan sepanjang hari, dan apa siapa kami, sambil makan minum bawaan kami sendiri-sendiri. Anak-anak bermain satu sama lain, lepas di lading yang luas hingga jauh malam.
Dan setelah berpindah-pindah ladang perkemahan kami kemudian sadar, bahwa mereka yang memilih bertenda bukan melakukannya karena terkait dengan persoalan harga yang murah seperti kami, tetapi pilihan. Mereka menyukai kegiatan berkemah yang dalam pendapat mereka mendekatkan ikatan keluarga ketimbang menginap dengan model lain. Liburan dengan berkemah membuat semua anggota keluarga harus saling bantu dan melakukan berbagai hal secara bersama-sama.
Dari bincang-bincang dengan mereka kami juga kemudian tahu bahwa nyaris semua dari mereka adalah kelas terdidik dan menengah yang mapan. Dan, dalam pengakuan kebanyakan dari mereka, adalah kalangan kelas menengah generasi baru: suka sepakbola dalam arti sesungguhnya, menjadi pendukung klub, dan fanatik.
Mereka menjadikan stadion sebagai "katedral" yang sebisa mungkin harus dikunjungi dengan rutin. Mereka menjadikan kehidupan klub bagian penting dari kehidupan mereka. Sepakbola adalah hiburan tapi juga sebuah kehidupan yang bermakna. Pengakuan bahwa ada kalangan menengah terdidik yang menjadi penggemar fanatik sepakbola merupakan hal yang baru buat saya.
Anda tahu, lintas afiliasi di Inggris ini tidaklah secair di Indonesia. Segmentasi kelas sangat kaku. Sedemikian kakunya kesadaran kelas sosial itu hingga bisa terasa dalam kehidupan sehari-hari.
Secara otomatis misalnya, kalangan superkaya dan aristokrasi, akan mengelompok, tinggal di daerah tertentu, dan mengirim anak mereka ke sekolah tertentu pula.
Mereka bergaul di kalangan mereka sendiri. Bahkan topik pembicaraan sehari-hari, logat bicara, pilihan kosa kata bahasa, orientasi pergaulan, pekerjaan, dan jenis olahraga yang mereka mainkan juga khas menunjukkan kelas sosial mereka.
Bahkan pub (tempat minum dan bersosialisasi khas Inggris) juga menunjukkan kelas sosial. Pilihan pub yang menjadi langganan ditentukan kelas sosial ini.
Kalangan menengah akan begitu pula. Lalu kalangan buruh, kalangan bawah, idem ditto.
Bandingkan dengan Indonesia dengan lintas afiliasi yang nyaris alami. (Setidaknya pengalaman saya dulu) sangat biasa kita menemukan orang kaya bergaul (berkehidupan sosial) dengan mereka lebih tidak beruntung karena mungkin beretnis sama, beragama sama, tinggal di kampung yang sama, bersekolah di tempat yang sama, dan banyak sekali alasan lain.
Atau permisalan bisa dibalik dengan sekian macam variasinya. Misal, seseorang yang datang dari etnis tertentu akan dengan mudah bergaul dengan mereka yang datang etnis berbeda karena datang dari kelas sosial yang sama, beragama sama, menempuh pendidikan ditempat yang sama, dan lain sebagainya.
(Mungkin) karena kondisi sosial yang seperti ini, di Indonesia, dan juga negara lain dengan struktur kelas sosialnya yang tidak kaku, dengan mudah sepakbola menjadi olahraga kegemaran setiap kalangan. Tak peduli latar belakang orang yang bersangkutan. Sepakbola adalah sebuah olahraga massal yang mudah dipahami dan dinikmati, ditonton ataupun dimainkan.
Tetapi di Inggris yang konon menjadi awal lahirnya permainan sepakbola seperti yang kita kenal sekarang, persoalannya ternyata tidak sesederhana itu.
Benar di Inggris ini di televisi, radio, dan koran tiada hari tanpa sepakbola. Sepakbola diikuti layaknya "agama". Benar sepakbola menjadi olahraga nasional. Tetapi sejujurnya hanya kalangan bawah, kelas buruh, yang mengikuti dengan demikian.
Kalangan menengah ikut ramai bicara tetapi tidak terlibat layaknya kalangan bawah. Kalangan atas malah bisa dikatakan mengabaikan sama sekali.
Saya banyak bertemu dengan kalangan terdidik menengah Inggris, terutama karena lingkungan kerja, dan ya mereka penggemar sepakbola tetapi juga dengan menjaga jarak dan menyisakan sinisme terhadap permainan itu. Katakanlah peminat pasif. Kalau pas ada di depan mata mereka ikut terlibat, kalau tidak ada mereka juga tidak mencari.
Itulah sebabnya berbeda dengan Eropa atau Amerika Latin yang juga fanatik dengan sepakbolanya, nyaris tidak ada pemain sepakbola di Inggris ini lahir dari kalangan menengah atas. Tidak ada pemain yang datang dari keluarga bangsawan, terdidik, akademisi, pejabat atau semacamnya.
Sampai sekarang di sekolah-sekolah kalangan sosial menengah atas tetap tidak ada kegiatan ekstrakurikuler sepakbola, tetapi kriket dan rugby, atau juga olahraga permainan yang untuk menyebutnya saja lidah sudah kelu dan kedengaran tidak enak di telinga.
Lalu bagaimana ceritanya kelas menengah sekarang menjadi kelompok baru bergabung dengan kelas bawah, atau mungkin malah menggesernya sebagai penggemar fanatik sepakbola?
Para pengamat bola tidak bisa bersepakat mengenai kapan hal ini terjadi. Waktu memang tidak bisa dipilah layaknya kue dipotong dengan pisau. Tetapi hampir semuanya sepakat bahwa kelahiran Liga Primer tahun 1992-lah yang membuat pergeseran itu.
Mungkin saya saja yang belum pernah mendengar atau membaca analisis yang menyebut bahwa Liga Primer adalah sebuah upaya sistematis untuk secara sadar merengkuh kelas menengah menjadi pasar baru sepakbola di Inggris ini. Tetapi saya tak akan kaget kalau memang demikian halnya.
Bukankah sejak awal pendiriannya, Liga Primer disadari sebagai sebuah kegiatan industri dan besar kemungkinan kelas menengahlah salah tujuannya.
Bukan sekadar karena besarnya jumlah kalangan menengah yang tidak kalah dari kalangan bawah, tetapi juga karena potensi keuangan mereka jauh lebih unggul dari kalangan bawah tentunya.
Yang jenial menurut saya adalah bagaimana cara para industriawan (media) sepakbola, dalam hal ini grup media Sky, untuk meruntuhkan stigma kelas di Inggris. Menggebrak sekaligus jitu.
Pertama, kalau kelas menengah enggan datang ke stadion, maka bawalah stadion ke mereka, ke ruang tamu mereka. Sebelum Liga Primer berdiri 22 tahun lalu, tidak ada siaran televisi menyiarkan pertandingan liga.
Namun sejak Liga Primer berdiri kalangan kelas menengah bisa menonton sepakbola di lingkungan yang steril, aman, dan nyaman. Mereka tidak perlu bersentuhan dengan lingkungan kelas di bawah mereka. Atau tidak perlu khawatir disebut turun kelas hanya karena menonton sepakbola. Toh tidak ada yang tahu kalau mereka menjadi penggemar sepakbola.
Langkah ini bak pisau bermata dua tetapi dua-duanya menguntungkan Sky dan Liga Primer. Karena untuk mengakses siaran televisi itu mereka harus membayar, yang berarti pemasukan untuk keduanya. Mata keduanya adalah lembaga media industri bola itu mempunyai alat untuk melakukan persuasi apa saja --pengaruh budaya-- hingga ke jantung keluarga. Karena siaran televisi mereka bukan melulu pertandingan sepakbola tetapi juga segala pernik yang berkaitan dengan sepakbola.
Memanfaatkan media itulah langkah selanjutnya yang dilakukan industriawan sepakbola untuk menghapus stigma kelas sosial dalam sepakbola. Media –bukan sekadar televisi, tapi semua terutama yang satu grup dengan Sky-- dengan sengaja disetir untuk selalu menyoroti lahirnya kelas menengah baru: para pemain bola.
Angan-angan disemai ke massa. Para pemain bola ini digambarkan sebagai sebuah keberhasilan perjuangan hidup kelas bawah. Tetap bagian dari kerumunan kelas bawah tetapi sukses.
Pada saat yang bersamaan kalangan menengah dijejali ide bahwa aspirasi penggemar/pemain sepakbola pada umumnya adalah untuk menjadi seperti mereka. Sepakbola adalah sebuah alat mobilitas vertikal belaka. Yang secara langsung menjembatani sekaligus mengaitkan kehidupan antara kalangan bawah dan menengah.
Sederhananya, apa yang dilakukan para pengelola Liga Primer dan Sky adalah menciptakan satu lintas afiliasi bagi kelas menengah dan bawah. Sepakbola adalah jalannya. Sepakbola wadahnya. Itulah sebabnya kalangan kelas menengah perlahan-lahan mulai menjadi fanatik dengan sepakbola.
Mungkin masih membutuhkan bertahun-tahun lagi untuk agar kedua kelas sosial ini betul-betul lebur dalam sepakbola. Tetapi kenyamanan semakin tercipta dan stigma kelas mulai kabur dan luntur.
Tetapi jangan dianggap lalu langkah para industriawan bola ini kemudian mulia. Karena ketika demografi penggemar sepakbola membesar menjadi lintas kelas, tujuan akhirnya ya cuma satu: dikeruklah uangnya.
0 komentar:
Post a Comment