Anak Korban Perang Tak Pernah Menjadi Masa Lalu
Dalam perang, anak berada di baris terdepan sebagai korban. Mereka mengalami berbagai tindak kekejian. Tak banyak yang bisa lolos dan menemukan kehidupan baru.
Sebagian besar bertahan dengan beban psikologis yang dipikul sampai mati. Laporan investigasi PBB mencatat, anak-anak korban perang di Suriah mengalami kekerasan seksual di rumah tahanan pemerintah dan dipaksa bertempur.
Sebagian dari anak-anak itu juga disiksa dan digunakan sebagai perisai hidup warga sipil.
Diperkirakan sedikitnya 10.000 anak tewas sejak konflik bersenjata pecah pada Maret 2011 di Suriah. Pelanggaran berat terhadap anak itu dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam konflik. Lebih dari 100.000 orang tewas dan jutaan orang lainnya telantar.
Menurut harian The New York Times, dampak perang selama hampir tiga tahun terhadap anak-anak di Suriah itu dipaparkan diam-diam kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pekan lalu, ketika wakil Pemerintah Suriah dan oposisi bertemu di Geneva, Swiss, untuk perundingan damai yang difasilitasi PBB.
Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Isu Anak dalam Konflik Bersenjata Leila Zerrougui dijadwalkan bertemu Dewan Keamanan PBB pekan depan.
Laporan itu menyatakan, anak-anak mulai usia 11 tahun disekap di rumah tahanan pemerintah bersama orang dewasa. Menurut saksi mata, mereka disiksa agar anggota keluarga yang dicurigai punya hubungan dengan pihak oposisi mengaku dan menyerah.
Mereka mengalami ancaman dan tindakan pemerkosaan dan berbagai bentuk siksaan seksual, baik anak perempuan maupun laki-laki, serta siksaan fisik dan mental, termasuk dipaksa melihat kerabatnya disiksa.
Serdadu anak
Laporan itu juga menyatakan, Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dari kelompok oposisi utama merekrut anak sebagai combatant. Tuduhan itu ditolak oleh juru bicara dewan militer tertinggi pihak oposisi, Omar Abu Leila (nama samaran). Namun, dikatakan, mungkin saja hal itu dilakukan pemberontak lain.
Laporan itu membuktikan, kekejian terhadap anak dalam perang tak pernah menjadi masa lalu. Data PBB mencatat, sedikitnya 300.000 anak di dunia saat ini dipaksa menjadi combatant.
Menurut para aktivis hak anak, Konvensi Hak Anak ataupun optional protocol-nya tak tegas dalam soal ini, terutama istilah combatant yang harus didefinisikan ulang. Anak-anak yang terlibat di dalamnya harus diperlakukan sebagai korban.
Ishmael Beah mengalami cuci otak, dipaksa bertempur dan membunuh dalam perang saudara tahun 1991-2002 di Sierra Leone. ”Dari anak yang takut suara tembakan, kami berubah menjadi penembak kejam,” ujar Beah, yang terpisah dari keluarganya pada usia 12 tahun seperti dikutip CNN (9/10/2012)
Antara tahun 1991-2002, kelompok pemberontak, seperti Front Pemersatu Revolusioner (RUF), mengindoktrinasi, memanipulasi ”semangat pejuang”, dan memaksa anak bertempur dalam perebutan kekuasaan di negara Afrika Barat yang kaya berlian itu. Kekejian perang itu tergambar baik dalam film "Blood Diamond" (2006).
Beah, kini Goodwill Ambassador PBB untuk isu serdadu anak, ahli hukum, dan penulis buku laris, "A long Way Gone: Memoirs of a Boy Soldier" (2007). Setelah dua tahun dijadikan combatant kelompok lawan RUF, ia diselamatkan tim Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef). Rehabilitasi yang sangat sulit berlangsung sembilan bulan. Ketika perang mencapai puncak, tahun 1998, ia diadopsi pekerja Unicef, Laura Sims, dan dibawa ke Amerika Serikat.
Beah lolos dari lubang jarum, tetapi banyak anak tak lolos karena proses cuci otak yang masif dan intensif atas nama ideologi (agama). Sejak bom bunuh diri digunakan dalam perang di Afganistan tahun 2003, ratusan anak diculik dan dijual kepada Taliban untuk dilatih sebagai pembawa bom bunuh diri di Pakistan dan Afganistan, dan di Irak oleh Al Qaeda.
Sekitar 90 persen pembawa bom bunuh diri di Pakistan berusia 12-18 tahun meski dalam beberapa kasus termasuk anak usia enam sampai sembilan tahun. Qasim Yousafzai melaporkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak laki-laki yang direkrut sebagai ”pejuang” oleh Taliban (Central Asia Online, 3/10/2013).
Penculikan bayi
Kejahatan terhadap anak dalam situasi perang atau konflik bisa mengambil bentuk lain, seperti penculikan bayi oleh militer setelah orangtua mereka ”dihilangkan”. Isu penculikan 500 bayi merupakan satu dari bagian paling traumatik selama pemerintahan otoriter di Argentina, 1976-1983.
Mereka dikenal sebagai anak-anak ”Dirty War”, yang terkuak setelah perjuangan keras The Mothers and Grandmothers of the Plaza de Mayo atas hak kebenaran terkait anak dan cucu mereka yang diculik.
The Mothers and Grandmothers of the Plaza de Mayo yang lahir tahun 1976 adalah gerakan legendaris dalam sejarah pergerakan perempuan di dunia karena keberaniannya menentang rezim militer yang berkuasa. Mereka juga memainkan peranan penting di dalam negeri dan di forum internasional dalam kejatuhan rezim.
Mereka terdiri dari ibu, bibi, nenek dari berbagai kelas sosial yang anggota keluarganya ”dihilangkan” oleh junta militer. Selama tujuh tahun kekuasaan junta mengubah peran tradisional para ibu itu menjadi aktivis politik dan HAM.
Sejak tanggal 30 April 1977 sampai saat ini, setiap Kamis siang mereka bergandengan tangan mengitari Plaza de Mayo selama satu jam membawa foto anak-anak dan para cucu mereka.
Kasus ini diungkap dalam film dokumenter "Becoming Victoria", tentang Victoria Montenegro (35). Pada tahun 2000, ”sang ayah”, Letkol Hernán Tetzlaff, mengakui semua perbuatannya, termasuk bertanggung jawab atas kematian orangtua kandung Victoria.
Namun, baru saat bersaksi, musim semi tahun 2011—setelah bukti tes DNA oleh kelompok hak asasi manusia—ia terhubung dengan masa lalunya dan membuang nama Maria Sol yang tertera di surat kelahiran palsu.
Hukuman 50 tahun
Rencana sistematik penculikan bayi pihak yang dianggap ”musuh pemerintah” di rumah-rumah tahanan terungkap dalam kesaksian di pengadilan. Bayi-bayi itu diberikan kepada pihak yang harus menyembunyikan identitas asli anak. Jenderal Rafael Videla diganjar hukuman 50 tahun karena terbukti memimpin tindak kejahatan itu.
”Warga Argentina yang menyetujui amnesti menolak memaafkan para pejabat tinggi militer atas kasus ini,” ujar Jose Miguel Vivanco, Direktur Human Rights Watch Amerika, seperti dikutip The New York Times
Dalam perang, anak berada di baris terdepan sebagai korban. Mereka mengalami berbagai tindak kekejian. Tak banyak yang bisa lolos dan menemukan kehidupan baru.
Sebagian besar bertahan dengan beban psikologis yang dipikul sampai mati. Laporan investigasi PBB mencatat, anak-anak korban perang di Suriah mengalami kekerasan seksual di rumah tahanan pemerintah dan dipaksa bertempur.
Sebagian dari anak-anak itu juga disiksa dan digunakan sebagai perisai hidup warga sipil.
Diperkirakan sedikitnya 10.000 anak tewas sejak konflik bersenjata pecah pada Maret 2011 di Suriah. Pelanggaran berat terhadap anak itu dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam konflik. Lebih dari 100.000 orang tewas dan jutaan orang lainnya telantar.
Menurut harian The New York Times, dampak perang selama hampir tiga tahun terhadap anak-anak di Suriah itu dipaparkan diam-diam kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pekan lalu, ketika wakil Pemerintah Suriah dan oposisi bertemu di Geneva, Swiss, untuk perundingan damai yang difasilitasi PBB.
Utusan Khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Isu Anak dalam Konflik Bersenjata Leila Zerrougui dijadwalkan bertemu Dewan Keamanan PBB pekan depan.
Laporan itu menyatakan, anak-anak mulai usia 11 tahun disekap di rumah tahanan pemerintah bersama orang dewasa. Menurut saksi mata, mereka disiksa agar anggota keluarga yang dicurigai punya hubungan dengan pihak oposisi mengaku dan menyerah.
Mereka mengalami ancaman dan tindakan pemerkosaan dan berbagai bentuk siksaan seksual, baik anak perempuan maupun laki-laki, serta siksaan fisik dan mental, termasuk dipaksa melihat kerabatnya disiksa.
Serdadu anak
Laporan itu juga menyatakan, Tentara Pembebasan Suriah (FSA) dari kelompok oposisi utama merekrut anak sebagai combatant. Tuduhan itu ditolak oleh juru bicara dewan militer tertinggi pihak oposisi, Omar Abu Leila (nama samaran). Namun, dikatakan, mungkin saja hal itu dilakukan pemberontak lain.
Laporan itu membuktikan, kekejian terhadap anak dalam perang tak pernah menjadi masa lalu. Data PBB mencatat, sedikitnya 300.000 anak di dunia saat ini dipaksa menjadi combatant.
Menurut para aktivis hak anak, Konvensi Hak Anak ataupun optional protocol-nya tak tegas dalam soal ini, terutama istilah combatant yang harus didefinisikan ulang. Anak-anak yang terlibat di dalamnya harus diperlakukan sebagai korban.
Ishmael Beah mengalami cuci otak, dipaksa bertempur dan membunuh dalam perang saudara tahun 1991-2002 di Sierra Leone. ”Dari anak yang takut suara tembakan, kami berubah menjadi penembak kejam,” ujar Beah, yang terpisah dari keluarganya pada usia 12 tahun seperti dikutip CNN (9/10/2012)
Antara tahun 1991-2002, kelompok pemberontak, seperti Front Pemersatu Revolusioner (RUF), mengindoktrinasi, memanipulasi ”semangat pejuang”, dan memaksa anak bertempur dalam perebutan kekuasaan di negara Afrika Barat yang kaya berlian itu. Kekejian perang itu tergambar baik dalam film "Blood Diamond" (2006).
Beah, kini Goodwill Ambassador PBB untuk isu serdadu anak, ahli hukum, dan penulis buku laris, "A long Way Gone: Memoirs of a Boy Soldier" (2007). Setelah dua tahun dijadikan combatant kelompok lawan RUF, ia diselamatkan tim Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef). Rehabilitasi yang sangat sulit berlangsung sembilan bulan. Ketika perang mencapai puncak, tahun 1998, ia diadopsi pekerja Unicef, Laura Sims, dan dibawa ke Amerika Serikat.
Beah lolos dari lubang jarum, tetapi banyak anak tak lolos karena proses cuci otak yang masif dan intensif atas nama ideologi (agama). Sejak bom bunuh diri digunakan dalam perang di Afganistan tahun 2003, ratusan anak diculik dan dijual kepada Taliban untuk dilatih sebagai pembawa bom bunuh diri di Pakistan dan Afganistan, dan di Irak oleh Al Qaeda.
Sekitar 90 persen pembawa bom bunuh diri di Pakistan berusia 12-18 tahun meski dalam beberapa kasus termasuk anak usia enam sampai sembilan tahun. Qasim Yousafzai melaporkan terjadinya kekerasan seksual terhadap anak laki-laki yang direkrut sebagai ”pejuang” oleh Taliban (Central Asia Online, 3/10/2013).
Penculikan bayi
Kejahatan terhadap anak dalam situasi perang atau konflik bisa mengambil bentuk lain, seperti penculikan bayi oleh militer setelah orangtua mereka ”dihilangkan”. Isu penculikan 500 bayi merupakan satu dari bagian paling traumatik selama pemerintahan otoriter di Argentina, 1976-1983.
Mereka dikenal sebagai anak-anak ”Dirty War”, yang terkuak setelah perjuangan keras The Mothers and Grandmothers of the Plaza de Mayo atas hak kebenaran terkait anak dan cucu mereka yang diculik.
The Mothers and Grandmothers of the Plaza de Mayo yang lahir tahun 1976 adalah gerakan legendaris dalam sejarah pergerakan perempuan di dunia karena keberaniannya menentang rezim militer yang berkuasa. Mereka juga memainkan peranan penting di dalam negeri dan di forum internasional dalam kejatuhan rezim.
Mereka terdiri dari ibu, bibi, nenek dari berbagai kelas sosial yang anggota keluarganya ”dihilangkan” oleh junta militer. Selama tujuh tahun kekuasaan junta mengubah peran tradisional para ibu itu menjadi aktivis politik dan HAM.
Sejak tanggal 30 April 1977 sampai saat ini, setiap Kamis siang mereka bergandengan tangan mengitari Plaza de Mayo selama satu jam membawa foto anak-anak dan para cucu mereka.
Kasus ini diungkap dalam film dokumenter "Becoming Victoria", tentang Victoria Montenegro (35). Pada tahun 2000, ”sang ayah”, Letkol Hernán Tetzlaff, mengakui semua perbuatannya, termasuk bertanggung jawab atas kematian orangtua kandung Victoria.
Namun, baru saat bersaksi, musim semi tahun 2011—setelah bukti tes DNA oleh kelompok hak asasi manusia—ia terhubung dengan masa lalunya dan membuang nama Maria Sol yang tertera di surat kelahiran palsu.
Hukuman 50 tahun
Rencana sistematik penculikan bayi pihak yang dianggap ”musuh pemerintah” di rumah-rumah tahanan terungkap dalam kesaksian di pengadilan. Bayi-bayi itu diberikan kepada pihak yang harus menyembunyikan identitas asli anak. Jenderal Rafael Videla diganjar hukuman 50 tahun karena terbukti memimpin tindak kejahatan itu.
”Warga Argentina yang menyetujui amnesti menolak memaafkan para pejabat tinggi militer atas kasus ini,” ujar Jose Miguel Vivanco, Direktur Human Rights Watch Amerika, seperti dikutip The New York Times
0 komentar:
Post a Comment