(Uang) Asia Menggempur Sepakbola Eropa
Asia sudah bangun! Mungkin kalimat pembuka dalam buku "Aksi Massa" karya Tan Malaka tersebut dapat mencerminkan bagaimana kondisi Asia dalam kancah persepakbolaan internasional saat ini.
Bukan. Bukan tentang para pesepakbola pemain Asia macam Shinji Kagawa atau Yuto Nagatomo yang mulai bermain di Eropa. Ada faktor yang lebih penting lagi dalam urusan sepakbola, yaitu sponsor Asia di liga-liga Eropa.
Kini Asia memang lebih banyak tampil di jersey, papan iklan di stadion atau kolom sponsor di situs klub-klub Eropa. Ya, kini Eropa memang diserbu oleh Asia. Uang dari Asia, lebih tepatnya.
Benua Kuning di Benua Biru
Mesti diakui bahwa ekspansi Asia ke sepakbola Eropa dalam satu setengah dekade ke belakang memang dimulai dari para pemainnya.
Walaupun bukan yang pertama datang ke Eropa, namun Hidetoshi Nakata mungkin yang paling fenomenal ketika mendarat di tanah Italia. Selanjutnya ada nama-nama seperti Ahn Jung Hwan, Park Ji Sung, Ali Daei, Lei Chung Yong, Shunsuke Nakamura, Kagawa, Nagatomo, dan terakhir Keisuke Honda. Amat banyak, bukan?
Ada argumen bahwa memiliki nama-nama Asia seperti disebutkan di atas akan memberikan income tersendiri untuk klub. Alasan untuk mendongkrak popularitas tim pun nyata. Namun, lambat laun, ketika jersey pemain Asia tak selaris pemain-pemain top dunia, maka asumsi itu mulai dipertanyakan. Jangan-jangan, memang, klub Eropa tak sesederhana itu mencari uang dari Asia.
Soal kualitas pemain, Eropa memang lebih superior. Fakta ini belum terkalahkan dan belum terbantahkan. Dan superioritas inilah yang justru jadi pendorong utama pendapatan klub dari penjualan kaus. Jangan heran jika tetap saja jersey pemain-pemain top Eropa yang penjualannya di Asia paling konstan di atas rata-rata.
Sebagai contoh, lihatlah Real Madrid. Saat mereka ingin memasuki pasar Asia, bukan pemain asal Korea atau Jepang yang didatangkan oleh Los Galacticos melainkan David Beckham. Sebagaimana dituliskan oleh seorang jurnalis Inggris yang menetap di Asia, Martin Jacques, kala itu Real Madrid sukses menangkap fantasi masyarakat Asia, bahwa meski Asia memiliki kulit "berwarna", mereka ingin jadi "putih dan pucat" seperti bangsa barat. Tak heran jika pemain putih dengan kualitas superior seperti David Beckham jadi alat pemasaran yang efektif.
Maka argumen bahwa mendatangkan pemain Asia bisa jadi alat penjualan jersey pun sesungguhnya masih bisa diperdebatkan.
Demikian pula dengan Perugia. Ketika Perugia mengontrak Nakata, mereka berhasil menjual 7.000 potong baju dengan nameset sang pemain.Tapi coba bandingkan dengan pendapatan Fiorentina ketika menandatangani kerja sama dengan aktor Jepang lainnya, Nintendo, pada periode dekade yang sama. Tentu pendapatan Perugia dari penjualan 7 ribu jersey Nakata di negeri Sakura tak akan sebesar Fiorentina.
Ya, kita selalu mengharu-biru berasumsi bahwa dikontraknya pemain Asia oleh klub-klub Eropa adalah sebuah motif ekspansi pasar. Namun hal ini justru berbanding terbalik dengan realita hari ini. Asia-lah yang sebenarnya yang sedang sibuk mencari pasar.
Perlahan Asia yang sejak dulu dianggap inferior oleh Eropa mulai menunjukkan tajinya. Apalagi Eropa yang berbangga dengan nama besar dan ilmu pengetahuannya mulai menunjukkan kelemahan, terutama dalam sektor perekonomian. Great depression yang mencapai puncak pada tahun 2008 lalu juga belum sepenuhnya pulih. Eropa masih dilanda krisis. Tak terkecuali dengan sepakbolanya.
Ini mendorong satu fenomena baru, yaitu fenomena masuknya korporasi-korporasi Asia sebagai sponsor klub-klub top Eropa. Katakanlah ekspansi Asia jilid II.
Tengok saja bagaimana kerja sama Samsung dengan Chelsea yang bernilai 18 juta poundsterling per tahun. Atau kerja sama Fly Emirates dengan Arsenal, PSG, dan juga AC Milan, sampai-sampai, maskapai penerbangan itu membangun stadion Arsenal. Hal yang sama juga dilakukan Etihad Airways untuk Manchester City. Seolah tak ada yang mau mengalah untuk membuktikan siapa yang paling "wah" di Eropa.
Entah berapa jumlah pasti uang yang digelontorkan perusahaan maskapai penerbangan dari negri Petro dolar tersebut. Yang jelas, kerja sama antara Etihad dan City di pertengahan tahun 2011 mencapai nilai 400 juta poundsterling. Sebuah nilai yang fantastis.
Seakan tak mau kalah dengan kompetitornya, Fly Emirates juga menunjukkan taringnya. Dan tampaknya penjaja jasa penerbangan ini sedikit lebih "gila". Arsenal diberi gelontoran dana sebesar 150 juta euro per-musim. PSG pun dihujani uang 110 juta euro tiap setengah dekade, sementara AC Milan mendapat jatah 60 juta euro per lima musim. Pun dengan penguasa La Liga, Real Madrid, yang mendapat kucuran dana sebesar 120 juta euro selama 5 musim.
Raksasa Spanyol lainnya, Barcelona, pun merasakan nikmatnya pundi-pundi milik Asia. Kontraknya dengan Qatar Airways yang senilai 30,5 juta Euro jadi nilai kerjasama tertinggi di Eropa saat ini.
Ihwal promosi di Eropa ini tak jadi hak eksklusif negeri kaya-raya. Yang kekuatan ekonominya segitu-segitu saja pun boleh ikut serta.
Adalah Chang, bir asal Thailand yang telah menempel di jersey Everton sejak tahun 2004, yang juga punya nilai kerja sama tak sedikit. Chang dan Everton kabarnya menandatangani kontrak sebesar $18,7 juta dolar per-tahun. Tengok pula Vincent Tan dari Malaysia yang secara mengejutkan melakukan rebranding Cardiff City dan berhasil menempelkan negara asalnya di kaos tim The Blue Bird.
Walaupun Tan tak terbuka soal berapa dana yang ia keluarkan, tentu kita dapat menduga berapa besar harga yang harus dibayar oleh konglomerat Malaysia itu.
Ada pula Garuda Indonesia yang menggaet Liverpool FC. Sebentar lagi logo maskapai Indonesia itu akan menempel di seragam latihan Liverpool, meski nilai kontrak kerja sama itu tak disebutkan secara gamblang. Namun yang jelas, pihak Garuda Indonesia berjanji akan membantu renovasi Stadion Anfield. Ini tentu berarti kerja sama kedua belah pihak tak sedikit nominalnya.
"Kami mendapatkan keuntungan banyak dari kerjasama ini," tutur ucap Direktur Layanan Umum Garuda, Faik Fahmi, di penghujung bulan Januari ini.
Bagaimana mungkin, maskapai hingga kini belum mempunyai trayek Jakarta-London atau Jakarta-Liverpool bisa meraup untung dari mendanai Liverpool FC? Kenapa tak mensponsori saja sepakbola lokal saja terlebih dahulu? Toh, Garuda Indonesia milik Indonesia, bukan Inggris.
Namun sekali lagi, bisnis memang tak mengenal kata identitas negara. Promosi tak melulu monoton dilakukan di host country. Seperti yang dikatakan Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi pada 2001: "Bisnis selalu mengejar laba dan menghasilkan uang adalah prioritas utama."
Asia yang Selalu (Dianggap) Inferior
Krisis global tahun 2008 telah menghancurkan banyak sendi-sendi ekonomi Eropa. Hal yang kemudian berdampak pada industri sepakbola Eropa. Angka pengangguran terus bertambah di negara-negara adidaya ekonomi. Ironis.
Pengangguran di Uni Eropa sempat mencapai angka 12%. Bahkan sampai tahun 2013, angka pengangguran di Spanyol mencapai 26,8%. Di Inggris angka pengangguran hingga bulan Januari 2014 masih mencapai 7,1%, atau jauh di atas angka 5% pada 2006. Hal yang mampu mencerminkan bagaimana kondisi perkonomian negara digdaya Benua Biru.
Bahkan, pemimpin Prancis, Nicolas Sarkozy, harus melakukan pertemuan khusus dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel, untuk membahas paket-paket stimulus untuk mengeluarkan kedua negara dari krisis.
Ketika Eropa mulai terpuruk, sepakbola harus diselamatkan, karena sepakbola adalah benteng terakhir agar Eropa tetap terlihat gagah di mata dunia. Sepakbola adalah salah satu bukti sahih kedigdayaan Eropa, dan hal tersebut tak boleh diganggu-gugat. Maka dari itu, kini sepakbola Eropa sedikit menurunkan egonya, untuk menerima si inferior bercokol di tanahnya sendiri.
Situasi dan krisis itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh banyak korporasi Asia. Eropa yang selalu memamerkan kejayaan ekonominya, kini perlahan menelan ludahnya. Mereka kini harus rela perkonomiannya disokong oleh benua yang pernah mereka anggap inferior.
Bagi banyak perusahaan itu, tak jadi soal jika produk mereka tak laku di Eropa. Karena bukan itu yang hendak mereka cari. Mereka hendak melakukan penyeragaman pasar.
Lagipula, dengan mensponsori banyak klub besar Eropa, otomatis akan menambah ke-bonafid-an perusahaan-perusahaan tersebut. Kenapa? Karena sepakbola adalah olahraga terpopuler di muka bumi ini, bukan lagi olahraga tontonan kelas bawah, namun juga tontonan masyarakat kelas menengah dan kelas atas.
Selain itu, Eropa adalah kiblat peradaban dan selera dunia terutama untuk urusan sepakbola. Dengan menggaet mitra dengan tim-tim top Eropa, korporasi-korporasi tersebut sebenarnya sedang meminimalisir biaya promosi. Lewat sepakbola, pemasaran dan pengenalan produk barang dan jasa mereka akan lebih cepat sampai ke masyarakat.
Faktor lainnya adalah, sebagian besar Eropa telah terintegrasi lewat organisasi regional mereka, Uni Eropa. Dan meski membangun pasar baru bukan jadi tujuan utama, kondisi ini tentu akan memudahkan arus aliran barang dan jasa korporasi-korporasi Asia.
Dalam hal sepakbola, UEFA sebagai organisasi yang mengayomi klub-klub sepakbola di Eropa pun sudah punya regulasi tersendiri untuk para investor. Hal ini tentu akan meningkatkan rasa aman berinvestasi jangka panjang pada ranah sepakbola.
Tentu Anda masih ingat, bagaimana bersemangatnya Green Peace untuk menentang Gazprom pada laga FC Basel vs Schalke 04, Oktober lalu. Sekalipun itu sebuah tindakan protes atas pengeboran minyak di daerah Arktik, toh, perusahaan energi Rusia yang mensponsori Schalke tersebut tetap saja bebas berpromosi di jersey Schalke.
Ya, rezim UEFA telah menciptakan rasa aman bagi para investor yang ingin berinvestasi di sektor sepakbola. Anda punya uang, silakan masuk. Anda tak cukup banyak uang, silakan membeli tiket pesawat dan ikut tur ke stadion-stadion. Masih kurang juga uangnya? Tunggu saat klub-klub Eropa itu berkunjung ke negara Anda. Anda beli tiket saja untuk masuk stadion di hari pertandingan.
Asia yang pasif. Eits, nanti dulu. Gelontoran uang yang mengalir ke kas klub-klub Eropa juga menunjukkan Asia yang aktif dan (melihat angka-angkanya yang sangat melimpah) Asia yang menggempur.
Lupakan teori bahwa mengontrak pemain Asia itu untuk jualan jersey. Itu sudah kuno. Itu terlalu recehan.
Asia sudah bangun! Mungkin kalimat pembuka dalam buku "Aksi Massa" karya Tan Malaka tersebut dapat mencerminkan bagaimana kondisi Asia dalam kancah persepakbolaan internasional saat ini.
Bukan. Bukan tentang para pesepakbola pemain Asia macam Shinji Kagawa atau Yuto Nagatomo yang mulai bermain di Eropa. Ada faktor yang lebih penting lagi dalam urusan sepakbola, yaitu sponsor Asia di liga-liga Eropa.
Kini Asia memang lebih banyak tampil di jersey, papan iklan di stadion atau kolom sponsor di situs klub-klub Eropa. Ya, kini Eropa memang diserbu oleh Asia. Uang dari Asia, lebih tepatnya.
Benua Kuning di Benua Biru
Mesti diakui bahwa ekspansi Asia ke sepakbola Eropa dalam satu setengah dekade ke belakang memang dimulai dari para pemainnya.
Walaupun bukan yang pertama datang ke Eropa, namun Hidetoshi Nakata mungkin yang paling fenomenal ketika mendarat di tanah Italia. Selanjutnya ada nama-nama seperti Ahn Jung Hwan, Park Ji Sung, Ali Daei, Lei Chung Yong, Shunsuke Nakamura, Kagawa, Nagatomo, dan terakhir Keisuke Honda. Amat banyak, bukan?
Ada argumen bahwa memiliki nama-nama Asia seperti disebutkan di atas akan memberikan income tersendiri untuk klub. Alasan untuk mendongkrak popularitas tim pun nyata. Namun, lambat laun, ketika jersey pemain Asia tak selaris pemain-pemain top dunia, maka asumsi itu mulai dipertanyakan. Jangan-jangan, memang, klub Eropa tak sesederhana itu mencari uang dari Asia.
Soal kualitas pemain, Eropa memang lebih superior. Fakta ini belum terkalahkan dan belum terbantahkan. Dan superioritas inilah yang justru jadi pendorong utama pendapatan klub dari penjualan kaus. Jangan heran jika tetap saja jersey pemain-pemain top Eropa yang penjualannya di Asia paling konstan di atas rata-rata.
Sebagai contoh, lihatlah Real Madrid. Saat mereka ingin memasuki pasar Asia, bukan pemain asal Korea atau Jepang yang didatangkan oleh Los Galacticos melainkan David Beckham. Sebagaimana dituliskan oleh seorang jurnalis Inggris yang menetap di Asia, Martin Jacques, kala itu Real Madrid sukses menangkap fantasi masyarakat Asia, bahwa meski Asia memiliki kulit "berwarna", mereka ingin jadi "putih dan pucat" seperti bangsa barat. Tak heran jika pemain putih dengan kualitas superior seperti David Beckham jadi alat pemasaran yang efektif.
Maka argumen bahwa mendatangkan pemain Asia bisa jadi alat penjualan jersey pun sesungguhnya masih bisa diperdebatkan.
Demikian pula dengan Perugia. Ketika Perugia mengontrak Nakata, mereka berhasil menjual 7.000 potong baju dengan nameset sang pemain.Tapi coba bandingkan dengan pendapatan Fiorentina ketika menandatangani kerja sama dengan aktor Jepang lainnya, Nintendo, pada periode dekade yang sama. Tentu pendapatan Perugia dari penjualan 7 ribu jersey Nakata di negeri Sakura tak akan sebesar Fiorentina.
Ya, kita selalu mengharu-biru berasumsi bahwa dikontraknya pemain Asia oleh klub-klub Eropa adalah sebuah motif ekspansi pasar. Namun hal ini justru berbanding terbalik dengan realita hari ini. Asia-lah yang sebenarnya yang sedang sibuk mencari pasar.
Perlahan Asia yang sejak dulu dianggap inferior oleh Eropa mulai menunjukkan tajinya. Apalagi Eropa yang berbangga dengan nama besar dan ilmu pengetahuannya mulai menunjukkan kelemahan, terutama dalam sektor perekonomian. Great depression yang mencapai puncak pada tahun 2008 lalu juga belum sepenuhnya pulih. Eropa masih dilanda krisis. Tak terkecuali dengan sepakbolanya.
Ini mendorong satu fenomena baru, yaitu fenomena masuknya korporasi-korporasi Asia sebagai sponsor klub-klub top Eropa. Katakanlah ekspansi Asia jilid II.
Tengok saja bagaimana kerja sama Samsung dengan Chelsea yang bernilai 18 juta poundsterling per tahun. Atau kerja sama Fly Emirates dengan Arsenal, PSG, dan juga AC Milan, sampai-sampai, maskapai penerbangan itu membangun stadion Arsenal. Hal yang sama juga dilakukan Etihad Airways untuk Manchester City. Seolah tak ada yang mau mengalah untuk membuktikan siapa yang paling "wah" di Eropa.
Entah berapa jumlah pasti uang yang digelontorkan perusahaan maskapai penerbangan dari negri Petro dolar tersebut. Yang jelas, kerja sama antara Etihad dan City di pertengahan tahun 2011 mencapai nilai 400 juta poundsterling. Sebuah nilai yang fantastis.
Seakan tak mau kalah dengan kompetitornya, Fly Emirates juga menunjukkan taringnya. Dan tampaknya penjaja jasa penerbangan ini sedikit lebih "gila". Arsenal diberi gelontoran dana sebesar 150 juta euro per-musim. PSG pun dihujani uang 110 juta euro tiap setengah dekade, sementara AC Milan mendapat jatah 60 juta euro per lima musim. Pun dengan penguasa La Liga, Real Madrid, yang mendapat kucuran dana sebesar 120 juta euro selama 5 musim.
Raksasa Spanyol lainnya, Barcelona, pun merasakan nikmatnya pundi-pundi milik Asia. Kontraknya dengan Qatar Airways yang senilai 30,5 juta Euro jadi nilai kerjasama tertinggi di Eropa saat ini.
Ihwal promosi di Eropa ini tak jadi hak eksklusif negeri kaya-raya. Yang kekuatan ekonominya segitu-segitu saja pun boleh ikut serta.
Adalah Chang, bir asal Thailand yang telah menempel di jersey Everton sejak tahun 2004, yang juga punya nilai kerja sama tak sedikit. Chang dan Everton kabarnya menandatangani kontrak sebesar $18,7 juta dolar per-tahun. Tengok pula Vincent Tan dari Malaysia yang secara mengejutkan melakukan rebranding Cardiff City dan berhasil menempelkan negara asalnya di kaos tim The Blue Bird.
Walaupun Tan tak terbuka soal berapa dana yang ia keluarkan, tentu kita dapat menduga berapa besar harga yang harus dibayar oleh konglomerat Malaysia itu.
Ada pula Garuda Indonesia yang menggaet Liverpool FC. Sebentar lagi logo maskapai Indonesia itu akan menempel di seragam latihan Liverpool, meski nilai kontrak kerja sama itu tak disebutkan secara gamblang. Namun yang jelas, pihak Garuda Indonesia berjanji akan membantu renovasi Stadion Anfield. Ini tentu berarti kerja sama kedua belah pihak tak sedikit nominalnya.
"Kami mendapatkan keuntungan banyak dari kerjasama ini," tutur ucap Direktur Layanan Umum Garuda, Faik Fahmi, di penghujung bulan Januari ini.
Bagaimana mungkin, maskapai hingga kini belum mempunyai trayek Jakarta-London atau Jakarta-Liverpool bisa meraup untung dari mendanai Liverpool FC? Kenapa tak mensponsori saja sepakbola lokal saja terlebih dahulu? Toh, Garuda Indonesia milik Indonesia, bukan Inggris.
Namun sekali lagi, bisnis memang tak mengenal kata identitas negara. Promosi tak melulu monoton dilakukan di host country. Seperti yang dikatakan Joseph Stiglitz, peraih Nobel Ekonomi pada 2001: "Bisnis selalu mengejar laba dan menghasilkan uang adalah prioritas utama."
Asia yang Selalu (Dianggap) Inferior
Krisis global tahun 2008 telah menghancurkan banyak sendi-sendi ekonomi Eropa. Hal yang kemudian berdampak pada industri sepakbola Eropa. Angka pengangguran terus bertambah di negara-negara adidaya ekonomi. Ironis.
Pengangguran di Uni Eropa sempat mencapai angka 12%. Bahkan sampai tahun 2013, angka pengangguran di Spanyol mencapai 26,8%. Di Inggris angka pengangguran hingga bulan Januari 2014 masih mencapai 7,1%, atau jauh di atas angka 5% pada 2006. Hal yang mampu mencerminkan bagaimana kondisi perkonomian negara digdaya Benua Biru.
Bahkan, pemimpin Prancis, Nicolas Sarkozy, harus melakukan pertemuan khusus dengan Kanselir Jerman, Angela Merkel, untuk membahas paket-paket stimulus untuk mengeluarkan kedua negara dari krisis.
Ketika Eropa mulai terpuruk, sepakbola harus diselamatkan, karena sepakbola adalah benteng terakhir agar Eropa tetap terlihat gagah di mata dunia. Sepakbola adalah salah satu bukti sahih kedigdayaan Eropa, dan hal tersebut tak boleh diganggu-gugat. Maka dari itu, kini sepakbola Eropa sedikit menurunkan egonya, untuk menerima si inferior bercokol di tanahnya sendiri.
Situasi dan krisis itulah yang kemudian dimanfaatkan oleh banyak korporasi Asia. Eropa yang selalu memamerkan kejayaan ekonominya, kini perlahan menelan ludahnya. Mereka kini harus rela perkonomiannya disokong oleh benua yang pernah mereka anggap inferior.
Bagi banyak perusahaan itu, tak jadi soal jika produk mereka tak laku di Eropa. Karena bukan itu yang hendak mereka cari. Mereka hendak melakukan penyeragaman pasar.
Lagipula, dengan mensponsori banyak klub besar Eropa, otomatis akan menambah ke-bonafid-an perusahaan-perusahaan tersebut. Kenapa? Karena sepakbola adalah olahraga terpopuler di muka bumi ini, bukan lagi olahraga tontonan kelas bawah, namun juga tontonan masyarakat kelas menengah dan kelas atas.
Selain itu, Eropa adalah kiblat peradaban dan selera dunia terutama untuk urusan sepakbola. Dengan menggaet mitra dengan tim-tim top Eropa, korporasi-korporasi tersebut sebenarnya sedang meminimalisir biaya promosi. Lewat sepakbola, pemasaran dan pengenalan produk barang dan jasa mereka akan lebih cepat sampai ke masyarakat.
Faktor lainnya adalah, sebagian besar Eropa telah terintegrasi lewat organisasi regional mereka, Uni Eropa. Dan meski membangun pasar baru bukan jadi tujuan utama, kondisi ini tentu akan memudahkan arus aliran barang dan jasa korporasi-korporasi Asia.
Dalam hal sepakbola, UEFA sebagai organisasi yang mengayomi klub-klub sepakbola di Eropa pun sudah punya regulasi tersendiri untuk para investor. Hal ini tentu akan meningkatkan rasa aman berinvestasi jangka panjang pada ranah sepakbola.
Tentu Anda masih ingat, bagaimana bersemangatnya Green Peace untuk menentang Gazprom pada laga FC Basel vs Schalke 04, Oktober lalu. Sekalipun itu sebuah tindakan protes atas pengeboran minyak di daerah Arktik, toh, perusahaan energi Rusia yang mensponsori Schalke tersebut tetap saja bebas berpromosi di jersey Schalke.
Ya, rezim UEFA telah menciptakan rasa aman bagi para investor yang ingin berinvestasi di sektor sepakbola. Anda punya uang, silakan masuk. Anda tak cukup banyak uang, silakan membeli tiket pesawat dan ikut tur ke stadion-stadion. Masih kurang juga uangnya? Tunggu saat klub-klub Eropa itu berkunjung ke negara Anda. Anda beli tiket saja untuk masuk stadion di hari pertandingan.
Asia yang pasif. Eits, nanti dulu. Gelontoran uang yang mengalir ke kas klub-klub Eropa juga menunjukkan Asia yang aktif dan (melihat angka-angkanya yang sangat melimpah) Asia yang menggempur.
Lupakan teori bahwa mengontrak pemain Asia itu untuk jualan jersey. Itu sudah kuno. Itu terlalu recehan.
0 komentar:
Post a Comment